Hampir semua konflik sosial berbau SARA di negeri ini selalu dapat dirunut ke arah urusan perut (baca: kesejahteraan sosial).
Dibalik rusuh konflik tolikara akarnya karena ada kesenjangan ekonomi antara penduduk pendatang (suku bugis dan suku jawa) dibanding penduduk lokal Papua.
Dibalik rusuk konflik Sampit, ada penguasaan sumber daya ekonomi secara masif oleh etnis madura dibanding penduduk lokal (dayak).
Dan dibalik konflik SARA yang melibatkan etnis China, sudah tidak asing lagi, selalu ada kesenjangan ekonomi yang tinggi antara penduduk etnis keturunan china di wilayah itu dengan penduduk lokal pribumi.
Seperti yang baru-baru ini terjadi di Tanjung balai.
Adapun ada kasus kriminalitas, ada kasus perkelahian sebelumnya, atau ada protes suara Adzan, hanyalah trigger pemicu konflik. Pemicu atas kedongkolan2, atas frustasi sosial yang sudah terpendam lama dalam alam bawah sadar.
Kecemburuan ekonomi dan sosial yang sudah mengakar.
Dan sayangnya Negeri ini tidak pernah berusaha mengatasi akar permasalahan ini dengan serius.
Lebih senang dengan upaya basa basi rekonsiliasi elit tokoh adat tokoh agama, yang bukannya tidak bermanfaat, tetapi hanya menyelesaikan masalah sementara.
Tidakkah kita mau belajar dengan MALAYSIA ?