Setelah tadi malam beristirahat dengan cukup di rumah Saudara yang ada di Malingping, siang hari ini tadi kami (saya, istri dan anak) mencoba untuk mengekspolari keindahan alam di Malingping. Kami bergerak mulai dari Kota Malingping, kemudian menujua pantai Bagedur, bergerak ke Pantai Pasir Putih, dan terus bergerak secara perlahan menuju ke arah Bayah, dan terus bergerak menuju ke pantai Pulau Manuk. Tiada kata lain yang keluar dari bibir-bibir kami kecuali pujian kepada Alloh SWT yang telah menghamparkan dihadapan kami keindahan yang begitu nyata yang dapat kami lihat dan rasakan secara langsung. Tetapi ada satu hal yang selalu menarik perhatian dan mengusik hati saya untuk kemudian membuat mencoba mencari tahu. Sepanjang dalam perjalanan mulai dari Malingping menuju Bayah, saya melihat ada seperti tanggul yang terbuat dari tanah dan pada beberapa sungai yang bermuara ke laut sepanjang bibir pantau terdapat seperti pondasi jembatan di setiap sisi sungai tersebut. Tanggul apakah tersebut.? apakah tanggul tersebut dulunya adalah penahan gelombang air laut agar tidak sampai masuk menuju daratan ataukah adakah kisah yang lain pada tanggul tersebut. Karena rasa penasaran saya yang semakin bertambah akhirnya saya putuskan untuk berhenti sesaat mengambil gambar (foto) pondasi jembatan yang berdiri di kedua sisi sungai yang bermuara ke laut, yang kebetulan pada saat itu ada segerombolan kerbau sedang lewat di sungai tempat saya mengambil gambar.. dan untuk menbambah kesan eksotisme maka saya sertakan pula gerombolan kerbau yang sedang lewat di pondasi jembatan yang saya jadikan obyek gambar. [caption id="attachment_194298" align="alignnone" width="500" caption="Pondasi jembatan yang berdiri di kedua sisi sungai yang bermuara ke laut"][/caption] Setelah sempat bertanya tanya kepada beberapa nara sumber yang berada di lokasi tempat saya mengambil foto, saya peroleh informasi ternyata tanggul tersebut bukanlah tanggul akan tetapi merupakan tempat landasan berpijak bagi rel kereta pada zaman Jepang.. "Wow, ini cerita lain yang menarik dari Malingping" dalam hati saya berkata. Maka tak ayal, saya semakin antusian untuk bertanya semakin jauh dan semakin dalam tentang rel kereta api zaman jepang ini. Ternyata di zaman pendudukan Jepang di Indonesia, pesisir pantai selatan bagian Banten telah dimasuki dan diduduki oleh Pemerintahan Penjajahan Jepang (selanjutnya saya tulis Jepang saja). Dan oleh Jepang pada waktu itu dibangunlah jaring rel kereta api mulai dari Bayah di Kecamatan Bayah, Panggarangan, Cihara, Malingping terus menuju Kecamatan Saketi di Kabupaten Pandeglang. Yang dimaksud dengan Bayah pada zaman Jepang, ternyata tidak sama dengan pusat Kota Kecamatan Bayah sekarang. Bayah pada zaman jepang terpusat di Pulau Manuk sekarang. Dengan cara apa Jepang membangun jaringan rel kereta api tersebut.? Tentunya cara yang paling mudah dan murah adalah dengan melakukan kerja paksa/Romusha. Romusha/kerja paksa yang dilakukan Jepang ternyata memakan korban yang begitu besar.. tak terbilang nyawa warga Lebak yang melayang dalam pengerjaan pembuatan jaringan rel kereta api tersebut. Sumber kami menyebutkan bahwa 90.000 (sembilan puluh ribu) nyawa lebih melayang. Mulai dari akibat kepayahan karena bekerja begitu berat, kelaparan karena mereka diberi makan hanya sedikit sekali dibandingkan dengan pekerjaan yang mereka lalukan, sampai ketakutan akibat siksaan yang dilakukan oleh para tentara jepang. Pertanyaan lanjutan yang timbul dalam hati saya adalah "Ada apa dengan Bayah?" Berdasarkan keterangan yang berhasil kami saya dapatkan ternyata pada zaman Jepang di Bayah terdapat produksi "tambang batu bara" yang hingga siang ini tadi waktu kami melewati tempat tersebut masih kami dapati tumpukan batu berwarna hitam tersebut di sepanjang tepian jalan sebagai sisa-sisa produksi, disamping tambang emas di "Cikotok' tentunya. Dan hasil produksi tambang Batubara tadi diangkut dengan menggunakan kereta api yang pembangunan jaringan relnya dibangun oleh para Romusha tadi. Kekejaman yang luar biasa inilah yang akhirnya menimbulkan semangat untuk melawan bagi para patriot2 bangsa yang berasal dari Lebak, dan akhirnya menyebabkan Lebak menjadi membara dalam memperjuangkan hak-hak kemerdekaan masyarakat Lebak. Dan ini menjadi bagian dari torehan tinta emas semangat patriotisme bangsa Indonesia ini dalam menggapai kemerdekaannya. Saya kemudian jadi teringat pada beberapa hari sebelum hari raya 'Idul Fitri, dimana seluruh bangsa Indonesia termasuk kita tentunya menyelenggarakan upacara peringatan detik-detik kemerdekaan Indonesia.. Yang terlintas dalam benak saya adalah : "Adakah orang-orang yang memperingati detik-detik kemerdekaan Indonesia itu juga mengerti dan memahami serta menghargai para pahlawan yang telah berkorban dengan segenap Harta, Jiwa dan Raga mereka untuk kemerdekaan bangsa ini? ataukah ini hanya sekedar upacara seremonial saja tanpa arti dan makna.?" ataukah saya yang terlalu banyak berharap?............
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H