Aktivis lingkungan dan para ahli kelautan telah mengkritik keputusan pemerintah Indonesia untuk mencabut larangan ekspor pasir laut yang telah berlangsung selama 20 tahun, dengan menyatakan bahwa kebijakan tersebut akan memperparah kerusakan ekologi demi pendapatan devisa asing.
Peraturan pemerintah yang mulai berlaku pada 15 Mei menyatakan bahwa pasir laut dapat dijual ke luar negeri selama produsen dapat memastikan pasokan domestik untuk pekerjaan reklamasi dan proyek pengembangan infrastruktur lainnya.
Peraturan tersebut juga menyebutkan bahwa kegiatan penggalian hanya dapat dilakukan di area perairan terbuka yang telah mengalami sedimentasi "alamiah", sementara daerah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak diperbolehkan untuk kegiatan tersebut.
Yonvitner, kepala pusat penelitian sumber daya pesisir dan kelautan di Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan bahwa regulasi baru ini merujuk pada hukum maritim dan investasi sebagai kerangka hukum utamanya, tetapi sama sekali tidak menyebutkan hukum lingkungan dan konservasi.
Ia juga mengatakan bahwa manfaat ekonomi dari ekspor pasir laut akan terlampaui oleh kerugian ekologi dan biaya restorasi yang kemudian muncul, terutama jika pasir laut menjadi komoditas yang nilainya ditentukan oleh pasar. "Ketika terjadi fluktuasi harga pasir, kita yang akan mengalami kerugian, dan karena itu pertimbangan ekonomi akan menjadi jauh kurang berarti," katanya dalam konferensi pers daring pada 1 Juni.
Pada tahun 2021, Indonesia mengekspor pasir senilai $53,1 juta, menjadikannya eksportir pasir terbesar ke-11 di dunia. Pada tahun yang sama, pasir merupakan produk yang diekspor terbanyak ke-331 di Indonesia. Tujuan utama ekspor pasir dari Indonesia adalah: Tiongkok ($53,1 juta), Australia ($4,92 ribu), Uni Emirat Arab ($2,67 ribu), Vietnam ($794), dan Singapura ($359).
Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan, mengatakan bahwa ekspor kali ini akan diatur lebih ketat daripada sebelumnya. "Rezim ini berbeda dari 20 tahun yang lalu yang melarang ekstraksi dan penjualan pasir laut, karena pada saat itu belum ada regulasi tentang sedimentasi, dan yang terjadi saat itu adalah penyedotan pasir dari pesisir dan pulau-pulau kecil," katanya dalam konferensi pers di Jakarta pada 31 Mei.
Sakti mengatakan bahwa kementeriannya akan mengeluarkan keputusan yang menjelaskan langkah-langkah yang lebih ketat untuk perlindungan lingkungan guna memastikan habitat laut tidak rusak akibat penggalian pasir laut. Kementerian kelautan akan membentuk tim studi dengan pejabat dari kementerian energi dan kementerian lingkungan hidup, serta ahli akademik dan kelompok lingkungan independen untuk mencari lokasi potensial.
Mereka akan menentukan apakah pasir laut di lokasi tersebut terdiri dari endapan yang terjadi secara alami, dan kemudian mengalokasikan pasir tersebut untuk kebutuhan domestik atau ekspor. Setelah lokasi dan volume yang diizinkan untuk digali ditentukan, pemerintah akan mengeluarkan izin kepada perusahaan-perusahaan yang mampu melakukan penggalian pasir laut, kata Sakti.
"Saya diberitahu oleh beberapa ahli bahwa Indonesia berpotensi memiliki sekitar 23 miliar meter kubik [812 miliar kaki kubik] sedimentasi laut per tahun ... karena arus yang berputar," kata Sakti, tetapi ia tidak dapat menyebutkan lokasi potensial, seberapa besar permintaan domestik dan internasional terhadap pasir laut, ataupun pendapatan yang diharapkan dari resuming ekspor.