Lihat ke Halaman Asli

AKHDANI DHARIFATUS TSAQOFA

Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Airlannga

Konstruksi Sosial dan Batasan Emosional dalam Keluarga: Dampak pada Gender

Diperbarui: 30 Mei 2023   15:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gender merupakan suatu definisi atau peran yang dilekatkan terhadap suatu jenis kelamin. Definisi tersebut lebih merupakan mitos/stereotip terhadap suatu gender dibanding representasi dari realitas yang ada. Stereotip bukan hanya membatasi dan merugikan perempuan, seperti yang didengungkan oleh gerakan feminis, namun laki-laki juga mendapatkan pembatasan, hak-nya dihilangkan, dan dirugikan. Tidak dapat dinafikan bahwa perempuan masih menghadapi lebih banyak stereotip dan ketidakadilan gender dalam berbagai aspek kehidupan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sudah mendengar berbagai macam stereotip dari masyarakat dengan penyampaian konotasi evaluatif terhadap tindakan yang dilakukan seseorang.

Contoh : 

“Laki-laki itu seharusnya tidak boleh menangis.”

“Perempuan seharusnya lebih sering di rumah.”

“Laki-laki kok skincare-an.”

“Perempuan masa tidak bisa masak.”

Penelitian tentang stereotip seks telah menunjukkan bahwa orang melihat pria sebagai pribadi yang kompeten dan mandiri, dan wanita dilihat sebagai hangat dan ekspresif. Masyarakat menganggap bahwa stereotip tersebut sudah seharusnya dijalankan oleh masing-masing gender. Tipikal hangat dan ekspresif dilekatkan pada seorang ibu. Pada hal ini keterbatasan laki-laki terdapat pada kepercayaan masyarakat terhadap laki-laki dalam mengurus anak karena dianggap laki-laki tidak hangat dan ekspresif. Peran ayah yang mengurus anak di rumah mendapatkan perlakuan diskriminasi karena masyarakat menganggap bahwa seorang ayah seharusnya bekerja di luar rumah dan menghasilkan uang untuk keluarga. 

Pola asuh keluarga terhadap anak laki-laki juga membatasi sisi emosional. Dalam banyak masyarakat, laki-laki tidak diperbolehkan mengekspresikan apa yang dia rasakan. Perasaan sebenarnya laki-laki seringkali disembunyikan karena sedari kecil mereka selalu disuruh untuk tidak menampilkan emosi tertentu. Laki-laki dewasa yang menjadi kurang ekspresif sejatinya adalah hasil dari konstruksi sosial masyarakat sejak dia kecil yang selalu mengatakan bahwa “laki-laki tidak boleh menangis, laki-laki yang menangis berarti lemah”.

Hal ini yang menjadi salah satu penyebab masyarakat kurang percaya kepada ayah yang mengurus anak di rumah. Peran ibu “diwajibkan” oleh masyarakat untuk bisa ekspresif karena mengurus anak mempengaruhi tuntutan kepada ayah yang mengurus anak. Masyarakat sedari dulu yang selalu melontarkan aturan “macho” terhadap laki-laki, namun kebingungan sendiri ketika laki-laki tidak bisa mengekspresikan perasaannya. 

Hal ini perlu disadari oleh kita semua bahwa tanggung jawab dan peran dalam keluarga adalah berbeda-beda dan tiap manusia mempunyai kebebasan untuk memilih dirinya sendiri menjadi seperti apa dan bebas memilih bagaimana keluarganya dijalankan, selama tidak ada pihak yang dirugikan. Aturan dan suatu bentuk keharusan menjalankan suatu tugas tidak kaku hanya dibebankan kepada satu jenis kelamin, namun tiap jenis kelamin memiliki kebebasan memilih apa yang mereka akan jalani. Perempuan yang bekerja di luar rumah dan laki-laki yang mengurus anak dan bekerja di rumah, tidak salah dan tidak merugikan orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline