Lihat ke Halaman Asli

Judicial Restraint dalam Konsep Hukum

Diperbarui: 28 Juni 2024   09:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Judicial restraint" adalah konsep dalam hukum yang mengacu pada pendekatan di mana pengadilan menahan diri untuk tidak campur tangan secara aktif dalam kebijakan atau keputusan politik yang dibuat oleh cabang eksekutif atau legislatif pemerintahan. Pendekatan ini mengutamakan keterbatasan peran pengadilan untuk hanya memutuskan kasus berdasarkan interpretasi hukum yang jelas, tanpa mencoba mengubah atau mempengaruhi kebijakan publik secara signifikan. Dengan kata lain, pengadilan berusaha untuk membatasi campur tangan mereka ke dalam kebijakan atau keputusan politik, menyerahkan pengambilan keputusan itu kepada badan-badan pemerintah yang terpilih.

Sejarah "judicial restraint" atau penahanan diri yudisial mengacu pada prinsip bahwa pengadilan, terutama Mahkamah Agung di Amerika Serikat, seharusnya menahan diri dari mencampuri atau mengubah kebijakan politik yang dibuat oleh cabang legislatif atau eksekutif pemerintahan. Prinsip ini telah menjadi titik sentral dalam diskusi tentang peran pengadilan, terutama di negara-negara dengan sistem hukum common law. Prinsip "judicial restraint" mulai ditekankan sebagai respons terhadap yurisprudensi Pengadilan Agung Amerika Serikat yang semakin aktif dalam membatalkan undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan Konstitusi AS. Hal ini menjadi krusial dalam kasus-kasus seperti Marbury v. Madison (1803), di mana Mahkamah Agung menegaskan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. 

Pada pertengahan abad ke-19, terjadi perdebatan antara pendukung judicial restraint yang menyerukan keterlibatan minimal pengadilan dalam kebijakan politik, dan pendukung judicial activism yang melihat peran pengadilan sebagai agen perubahan sosial yang aktif. Prinsip judicial restraint diintegrasikan dengan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers), yang mendorong pengadilan untuk menahan diri dari mencampuri domain kebijakan yang seharusnya menjadi wewenang legislatif atau eksekutif. Pada era New Deal di Amerika Serikat (1930-an), Mahkamah Agung melakukan pergeseran dari pendekatan judicial restraint ke arah yang lebih aktif dalam mendukung program-program legislasi presiden Franklin D. Roosevelt yang ditentang oleh sebagian besar Mahkamah Agung saat itu. 

Setelah Perang Dunia II, terjadi peningkatan aktivitas pengadilan dalam menafsirkan konstitusi untuk melindungi hak-hak individu dan minoritas, seperti dalam kasus Brown v. Board of Education (1954) yang mengakhiri segregasi rasial di sekolah-sekolah. Kontroversi antara judicial restraint dan judicial activism terus berlanjut hingga saat ini di Amerika Serikat dan negara-negara lainnya. Pengadilan sering kali dihadapkan pada dilema antara menegakkan Konstitusi secara ketat tanpa mencampuri domain politik yang wewenangnya di luar kekuasaan yudisial, dan tanggung jawab moral untuk melindungi hak-hak individu dan minoritas. Dengan demikian, sejarah judicial restraint mencerminkan evolusi peran pengadilan dalam sistem hukum, menyesuaikan perannya dengan prinsip-prinsip konstitusional dan tuntutan masyarakat zaman tersebut.

Konsep "Judicial Restraint" di Mahkamah Konstitusi mengacu pada pendekatan di mana Mahkamah Konstitusi menahan diri untuk tidak terlalu aktif campur tangan dalam kebijakan atau keputusan politik yang dibuat oleh cabang eksekutif atau legislatif pemerintahan. Dalam konteks Mahkamah Konstitusi, konsep ini menekankan bahwa Mahkamah Konstitusi seharusnya membatasi diri untuk hanya memutuskan kasus-kasus yang diajukan padanya berdasarkan interpretasi konstitusional yang jelas dan tidak mencoba menggantikan fungsi legislasi atau eksekutif.

Penerapan konsep judicial restraint di Mahkamah Konstitusi penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antar cabang pemerintahan (trias politica) dan memastikan bahwa keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tidak bersifat berlebihan dalam mencampuri domain-domain yang seharusnya menjadi wilayah legislasi atau eksekutif. Hal ini juga berarti bahwa Mahkamah Konstitusi harus berhati-hati dalam menafsirkan dan mengimplementasikan konstitusi agar tidak melanggar prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers).

Menurut saya, dari penjelasan di atas, penerapan prinsip judicial restraint oleh Mahkamah Konstitusi dalam kewenangannya untuk melakukan judicial review di Mahkamah Agung dapat dilihat dari dua hal utama. Pertama, terdapat implementasi sistem one roof dalam pengujian peraturan perundang-undangan di semua tingkatan. Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai pengadilan yang menguji semua peraturan perundang-undangan sebagai court of law. Sementara Mahkamah Agung berfungsi sebagai pengadilan yang menangani perkara tersebut dalam tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Penilaian ini dianggap lebih realistis untuk menghindari penumpukan perkara dan agar pengujian peraturan perundang-undangan dapat berlangsung secara fokus dan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline