Aji Khairunnisa Sari/1322300012
Befiria Meike Rosandra/1322300001
Sibro Mulisi/1322300001
Bahwa pada Tugas Penemuan Hukum kali ini adalah terkait Kode Etik Kehakiman. Pada suatu perkara dengan Nomor Putusan 23/Pdt.G/2021/PN Tnr dan 27/Pdt.G/2022/PN Tnr. Pada perkara tersebut adalah dengan duduk perkara yang sama, isi gugatan yang sama dan pihak yang sama namun hakim memberikan keputusan yang berbeda. Bahwa pada Putusan 23/Pdt.G/2021/PN Tnr hakim telah menolak gugatan namun dalam 27/Pdt.G/2021/PN Tnr hakim mengabulkan gugatan. Bahwa dalam fakta-fakta persidangan terdapat banyak ketidak adilan oleh hakim, salah satunya pada saat Pemeriksaan Setempat (PS) pada perkara terdahulu, hakim mempercayakan terkait pengkuran tanah sepenuhnya dengan BPN (Badan Pertanahan Nasional), namun dalam perkara selanjutnya, hakim setuju untuk Penggugat melakukan pengukuran tanah sendiri.
Hakim saat memutus suatu perkara wajib bebas dari intervensi pihak manapun. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.” Sebelum menjatuhkan putusan pada suatu perkara, seorang hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan dalam Pasal 8 ayat (2) menyebutkan bahwa dalam mempertimbangkan ringan beratnya pidana yang akan dijatuhkan, hakim wajib mempertimbangkan sifat yang baik dan jahat terdakwa.
Menurut saya, Hakim merupakan penentu suatu keputusan perkara yang telah disengketakan oleh para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, putusan dari hakim merupakan sebuah hukuman bagi terdakwa pada khususnya dan menjadi sebuah yurisprudensi bila diikuti oleh para hakm lain dalam memutus suatu perkara yang sama. Apabila suatu perkara yang diputus sudah keliru dan pada akhirnya menjadi sebuah yurisprudensi, maka yang terjadi adalah tidak terciptanya keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana yang dicantumkan dalam setiap putusan hakim.
Putusan pengadilan adalah suatu keputusan ketetapan hukum yang diucapkan oleh hakim dalam sidang yang bersifat terbuka untuk umum melalui proses dan prosedural hukum acara perdata serta memiliki kekuatan hukum yang sah. Putusan dijatuhkan secara obyektif tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi atau pihak lain. Putusan juga harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sistemis, di mana argumentasi tersebut harus diawasi dan diikuti serta dapat dipertanggungjawabkan guna menjamin sifat keterbukaan dan kepastian hukum dalam proses peradilan.
Pada prinsipya, hakim adalah orang yang dianggap tahu dan mengerti tentang hukum. Dan hakim juga memiliki wewenang yang luas dari pengaruh siapapun terhadap putusan yang dijatuhkan, namun meskipun mempunyai kebebasan, bukan berarti hakim dapat sewenang-wenang dalam menjatuhkan putusan, hakim harus mempertimbangkan banyak hal terkait dengan fakta-fakta yang telah disaksikannya selama hakim melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa dipersidangan, sebab hakim merupakan perwujudan dan pencerminan nilai-nilai keadilan.
Pada perkara dengan Nomor Putusan 23/Pdt.G/2021/PN Tnr dan 27/Pdt.G/2022/PN Tnr jelas terdapat perbedaan pada hakim dalam pemberian keputusan pada kedua putusan tersebut. Dengan adanya duduk perkara yang sama, isi gugatan yang sama dan pihak yang sama namun hakim memberikan keputusan yang berbeda hal inilah yang dapat dapat menjadikan masyarakat kehilangan kepercayaan kepada penegak hukum.
Sehingga disini peran hakim dalam memberi keputusan suatu perkara sangatlah penting karena tujuan akhir suatu hukum adalah adanya keadilan, sehingga dalam menjatuhkan putusannya hakim harus menemukan fakta dan peristiwa yang terdapat diantara Penggugat dan Tergugat. Karena jika suatu hukum yang ada tidak mewujudkan adanya suatu keadilan maka akan membawa dampak yang kurang baik untuk masyarakat, masyarakat akan sulit mempercayai hukum sebagai wadah penyelesaian suatu konflik sehingga masyarakat akan menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri di luar hukum dan tidak memungkiri juga bahwa Tindakan tersebut akan berdampak bagi kehidupan masyarakat sekitar.
Hakim dalam penemuan hukumnya dapat dimulai dengan mengidentifkasi suatu fakta dan peristiwa yang terjadi dalam suatu perkara. Setelah menemukan fakta dan peristiwa tersebut maka Hakim juga harus berusaha menemukan hukumnya secara tepat. Dalam usaha menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa dalam persidangan, Majelis Hakim dapat mencarinya dalam:
1.Kitab-kitab perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis.
2.Sumber yurisprudensi, dengan catatan bahwa hakim sama sekali tidak boleh terikat dengan putusan-putusan yang terdahulu itu, ia dapat menyimpang dan berbeda pendapat jika ia yakin terdapat ketidakbenaran atas putusan atau tidak sesuai dengan perkembangan hukum kontemporer. Tetapi hakim dapat berpedoman sepanjang putusan tersebut dapat memenuhi rasa keadilan bagi pihak - pihak yang berperkara.
3.Tulisan-tulisan ilmiah para pakar hukum, dan buku-buku ilmu pengetahuan lain yang ada sangkut- pautnya dengan perkara yang sedang diperiksa itu,
Selain itu pula dalam proses penemuan hukum oleh hakim maka cara lain yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan metode interpretasi dan konstruksi. Dimana interpretasi hakim menggunakan penafsiran terhadap peraturan perundang-undangan yang ada sedangkan dengan proses kontruksi maka hakim harus lebih mengembangkan dari peraturan yang sehingga hakim tidak terikat dan berpegang pada aturan tersebut.