Pagi-pagi anak sulung saya berseru : “Dapat tugas menanam 3 bulan ke depan! Dicatat setiap minggu pertumbuhannya.” Sejak dia sekolah semi homeschooling di salah satu sekolah Distance Learning di Jakarta, tugas ini membuat dia mulai menyadari bahwa dia mengerjakan yang seperti saya kerjakan tiap minggu di kebun. Menanam, merawat dan menyiangi tanaman-tanaman di kebun kami bagi dia pekerjaan kurang menarik. Dia mulai mencari tanaman Bougenville di rumah neneknya, menjadi pilihannya dari sekian pilihan tanaman yang disarankan gurunya.
Ketika mendampingi dia menyiapkan wadah dan tanah untuk tanaman tersebut, ada hal-hal yang saya sampaikan : “Siapkan dan pastikan tanah untuk tanaman itu subur dan rawat tiap hari, bukan ketika ingat saja!. Tanah yang subur cukup nutrisi dan punya ruang oksigen di dalam tanah menjadi salah satu faktor penting, dan yang paling penting perlu kita ingat, pertumbuhan hanya Allah yang bisa beri, kita hanya mengupayakan untuk media pertumbuhannya baik buat tanaman ini.”
Di minggu pertama, tidak nampak perubahan apapun, wajahnya terlihat tidak bahagia. Dari jauh ku berseru: “Sabar, siram terus tiap pagi pakai air cucian berasnya. Jangan lupa berdoa minta pertumbuhan dari Allah” Sambil ku berlalu. Kegiatan menanti bukanlah kegiatan yang menyenangkan bagi banyak orang, tapi ini membuat ruang baru untuk diajarkan, bahwa ada yang bisa mereka raih dan upayakan dengan sekuat tenaga, tapi ada kuasa yang tidak pernah bisa dapat mereka paksa untuk miliki yaitu kuasa menumbuhkan, dan itu hanya Allah yang memiliki, manusia hanya bisa meminta dan menanti.
Di minggu kedua, muncul 3 daun kecil di ujung batang tanaman, dia berseri-seri, memotret tanaman tersebut dan segera melaporkan perkembangannya. Semakin rajin dia menyiram dengan pupuk alami dari air cucian beras. Dan lebih membahagiakan lagi di minggu ketiga bukan lagi 3 daun, tapi 42 daun muncul. Ajaib! Indah! Allah memberi pertumbuhan selagi dia tidur. Ruang kedua yang bisa diajarkan adalah kebahagiaan bukan pada apa yang didapat, tapi pada Allah itu sendiri. Sehingga dia dapat menghargai bahwa kehidupan bukan semata-mata memperoleh apapun yang menjadi keinginannya, namun ada pemegang kehidupan yang tidak layak untuk diabaikan. Sangat tidak hormat menikmati kue pemberian orang lain namun membelakangi orang tersebut.
Harapan menantikan bunga dari tanaman ini semakin membesar, berarti perjalanan belum berakhir, masih ada pekerjaan yang harus dilakukan, memberi pupuk yang tepat untuk masa generatifnya, sambil menanti pertumbuhannya. Jika kita menanam tanaman berbuah atau berbunga, tidak pernah kita hanya menginginkan daun-daunnya yang lebat, tapi pengharapan atas buah atau bunga tersebut. Ruang ketiga yang bisa diajarkan adalah tidak hidup sekedarnya. Sekedar hidup tanpa memahami makna dari kehidupan.
Siklus kehidupan bukan sekolah – bekerja – menikah – punya anak – mati, bukan pula sekolah – bekerja – sukses – mati. Kematian menjadi ujung perjalanan? Apakah juga menjadi garis finish sehingga kita memaknainya dengan upaya menyenangkan diri sepuas-puasnya sebelum kematian menjemput?. Buah dan bunga kehidupan bukan saat ini, namun masa sesudah kematian, ada masa kekekalan yang tidak bisa diabaikan. Itu sebabnya hidup sekedarnya tidak akan pernah mempersiapkan diri pada masa kekekalan nanti. Perlu upaya yang tepat untuk melewati masa generatif ini, jangan salah pupuk!.(ADN)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H