Zuhud merupakan salah satu aspek penting dalam khazanah dunia tasawuf. Penekanan pada meninggalkan segala hal yang berbau materialis untuk kembali pada harumnya idealis menjadi pemahaman banyak orang tentang artikulasi nilai zuhud. Kemudian, jika kita melihat kembali ke arah belakang, dimana banyak sufi yang mengimplementasikan zuhud dengan pandangan rohani yang selalu menatap arah langit dan jarang menatap ke arah dunia. Hal itulah yang membentuk sebuah paradigma pemikiran dari sebagian masyarakat luas mengenai zuhud sebagai salah satu penyebab kemunduran Islam karena dianggap menjadi pemicu kelambatan umat Islam untuk peka terhadap perkembangan zaman.
Pada dewasa ini, kemajuan peradaban manusia sangat berkembang. Umat manusia, khususnya umat Islam dihadapkan dengan teknologi yang mendongkrak daya aktifitas sehari-hari. Bisa dikatakan bahwa teknologi telah tergabung dalam setengah sisi psikologis manusia. Hal itu membuat manusia tidak bisa lepas dari teknologi di dalam kehidupannya. Lalu bagaimana umat Islam dapat merefleksikan nilai zuhud di zaman modern ini, karena di sisi lain beberapa aspek zuhud menolak kehadiran dunia dalam kehidupan keagamaan?
Buya Hamka, salah satu pencetus tasawuf modern, peka terhadap persoalaan tersebut. Menurut beliau, zuhud bukan lagi menafikan kehidupan dunia, serta pasif dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, beliau mengonsepsikan zuhud dengan mempertajam kepekaan sosial dan membangun semangat juang Islam. Menurut beliau, zuhud berarti sudi miskin dan sudi kaya, dengan catatan bahwa harta tidak menjadi penghalang untuk dekat dengan Tuhan.
Zuhud secara konsepsi memang mengasingkan diri, menghindari kehidupan umum, menjauhi materi, namun bukan berarti orang Zahid, yang menjalankan zuhud, dilarang untuk menjadi kaya, menyimpan harta, merasakan nikmat materi. Zahid menurut Hamka adalah orang yang hidup di dunia dengan tidak dipengaruhi dan dikuasai oleh kenikmatan materi, serta memiliki iman yang kuat untuk menjalankan syariat Islam secara konsisten. Konsep zuhud Hamka tersebut didasarkan pada semangat Islam untuk menjalankan kehidupan di dunia sebagai sarana mendapatkan kebahagiaan kehidupan ukhrowi.
Hamka memotong benang merah pada konsep zuhud klasik yang membatasi kehidupan keagamaan manusia. Menurutnya, kehidupan keagamaan manusia bukanlah hubungan antara manusia dan Tuhan semata, namun juga hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan makhluk Tuhan yang lainnya. Semuanya merupakan sarana ibadah bagi manusia untuk merefleksikan iman sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ciptaan-Nya. Oleh karenanya, semangat Islam harus bersinergi bersama dengan zuhud sehingga umat Islam harus aktif, bekerja, berjuang, turut andil dalam kehidupan bermasyarakat dengan bekal syariat dan iman yang kuat.
Pada dasarnya, menurut Hamka, tasawuf adalah alat untuk merekonstruksi diri guna menyucikan batin. Selanjutnya, beliau menambahkan bahwa tasawuf bukanlah tujuan, melainkan alat. Beliau menyarankan untuk tidak menjadikan tasawuf sebagai tujuan karena bisa menjadi penyebab kemacetan bahkan kemunduran hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H