Lihat ke Halaman Asli

Akbar Riansyah

Mahasiswa aktif UIN Sunan Sunan Gunung Djati Bandung

Mengungkap Filsafat Minangkabau: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah

Diperbarui: 21 Desember 2024   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah Gadang, Rumah Adat Minangkabau, Sumatera Barat (Sumber: Suarasumbar.id)

Minangkabau, sebuah suku dengan kekayaan budaya yang mendalam di Indonesia, dikenal dengan filsafatnya yang unik: "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah." Filsafat ini bukan hanya sekedar slogan, tetapi sebuah manifestasi dari upaya harmonisasi antara adat istiadat dan ajaran Islam yang dijaga turun-temurun. Asal usul filsafat ini dapat ditelusuri kembali ke peristiwa penting dalam sejarah Minangkabau, yaitu Sumpah Satie Bukik Marapalam, sebuah momen krusial yang mengatasi perselisihan antara kaum ulama muda dan kaum adat. Ulama muda yang baru pulang dari Arab ingin memurnikan ajaran Islam di Minangkabau dengan menghapus beberapa nilai adat yang mereka anggap bertentangan dengan syariat, sementara kaum adat berusaha mempertahankan tradisi leluhur mereka.

Sumpah Satie Bukik Marapalam adalah jawaban atas ketegangan ini, di mana para cendekiawan, ulama, dan kaum adat bersatu untuk mencapai kesepakatan bahwa adat harus berlandaskan syariat, dan syariat bersumber dari Kitabullah. Kesepakatan ini menandai awal mula dari sebuah proses panjang yang mengintegrasikan dua aspek penting kehidupan masyarakat Minangkabau: adat dan agama. Implementasi filsafat ini tidak hanya terlihat dalam upacara-upacara adat tetapi juga merambah ke berbagai aspek kehidupan masyarakat, membentuk sebuah komunitas yang kuat dan harmonis.

Dalam kebudayaan Minangkabau memiliki berbagai keunikan. Berbagai kebudayaan itu adalah hasil dari keluhuran akal budi nenek moyang orang Minangkabau. Semua hasil kebudayaan orang Minangkabau tidak lahir dalam satu malam, melainkan melalui proses panjang. Minangkabau dalam sejarahnya sangat meninggikan harkat dan martabat manusia. Sehingga semua aspek kehidupan diatur dengan pertimbangan yang teliti, mulai dari berpakaian sampai kepada sistem pemerintahan. Namun, adat dan budaya Minangkabau mengakui bahwa masih terdapat kekurangan karena tidak mampu mencapai seluruh aspek kehidupan manusia. Petuah adat Minangkabau menyatakan "Hiduik dikanduang adat, mati dikanduang tanah," yang berarti adat hanya bisa mengatur seseorang ketika ia masih hidup. Setelah meninggal, adat tidak lagi terlibat, sehingga mencari jalan melalui agama untuk menjawab kebutuhan spiritual setelah kematian.

Agama-agama seperti Hindu dan Buddha pernah datang ke Minangkabau, dibawa oleh bangsa Cina dan India, namun tidak diterima sepenuhnya. Islam datang sekitar 800 tahun yang lalu dan langsung mampu diterima oleh adat Minangkabau. Kesesuaian ajaran Islam dengan nilai-nilai lokal membuat proses integrasi ini menjadi harmonis. Islam datang bukan untuk menyalahi, tetapi untuk menyempurnakan adat Minangkabau, seperti pisau kembali ke sarung. Agama Nasrani dan paham komunis juga pernah masuk ke Minangkabau tetapi tidak mampu berakar sekuat Islam.

Kenapa hanya Islam yang disambut di Minangkabau? Karena ada persamaan pandang antara Islam dengan Minangkabau. Ada empat pandangan yang sama:

  1. Visi yang sama antara agama dan adat dalam menilai hakikat asasi manusia. Dalam ajaran Minangkabau, kemuliaan seseorang tergantung pada tinggi rendahnya budi seseorang, sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan akhlak yang baik.
  2. Persamaan pandang tentang peranan akal dalam kehidupan. Islam dan adat Minangkabau sama-sama mengajarkan pentingnya mempertimbangkan segala sesuatu dengan baik sebelum bertindak.
  3. Tidak adanya kasta dan klasifikasi manusia dalam kehidupan. Minangkabau tidak mengenal sistem kasta, mirip dengan ajaran Islam yang mengajarkan kesetaraan antar manusia.
  4. Adanya hati nurani yang jujur dan adil dalam diri setiap manusia. Dalam adat Minangkabau, konsep "raso" atau hati nurani yang murni dan jujur sangat dihargai, selaras dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya kebersihan hati.

Implementasi filosofi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" tidak hanya terlihat dalam upacara adat tetapi juga merambah ke berbagai aspek kehidupan masyarakat Minangkabau. Salah satu contoh konkret dari penerapan nilai-nilai ini adalah Batagak Pangulu (pengangkatan pemimpin adat), yang diawali dengan doa dan nasehat dari tokoh agama agar pemimpin adat dapat memimpin dengan bijaksana sesuai dengan adat dan syariat Islam. Tradisi ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai agama menjadi fondasi dalam pelaksanaan adat. Contoh lain dari penerapan filosofi ini adalah dalam upacara pernikahan dan tradisi turun mandi (menyambut kelahiran bayi), yang juga mencerminkan integrasi antara adat dan syariat Islam. Misalnya, dalam upacara pernikahan, adat istiadat tradisional dijalankan berdampingan dengan ritual keagamaan, seperti pembacaan ayat-ayat Al-Quran dan doa. Hal ini menunjukkan bahwa filosofi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" telah meresap dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau.

Selain upacara adat, pendidikan juga menjadi bagian penting dari penerapan filosofi ini. Pendidikan di Minangkabau memiliki akar yang mendalam dalam tradisi lokal dan agama Islam, dengan surau sebagai lembaga pendidikan tradisional yang memainkan peran penting dalam mengajarkan berbagai aspek pendidikan Islam, nilai moral, dan adat istiadat. Surau di Minangkabau terbagi menjadi dua jenis: surau adat yang mengajarkan ilmu adat, moral, silat, dan agama, serta surau agama yang mengajarkan ilmu tasawuf dan tarekat. Pendidikan surau di Minangkabau telah mengalami beberapa fase perkembangan, mulai dari pengajaran agama pada periode awal, adaptasi dengan budaya lokal, hingga menyatu dengan pendidikan modern pada masa penjajahan Belanda. Surau memainkan peran kunci dalam mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai adat dan agama yang harmonis, menjadikan pendidikan sebagai alat utama dalam menanamkan filsafat "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" kepada generasi muda.

Melanjutkan peran penting surau dalam pendidikan masyarakat, transformasi surau menjadi madrasah pada awal abad ke-20 dipengaruhi oleh gelombang modernisasi Islam yang berakar dari pembaruan pemikiran di Timur Tengah. Surau, yang awalnya berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional dengan pendekatan sufistik, mulai kehilangan otoritasnya seiring dengan meningkatnya tuntutan untuk sistem pendidikan yang lebih modern. Ulama kaum muda, yang terpengaruh oleh gerakan pembaruan Islam dari tokoh seperti Muhammad Abduh, memimpin perubahan ini. Mereka mendirikan madrasah dengan sistem klasikal yang lebih terstruktur, memperkenalkan kurikulum yang mencakup ilmu agama dan pengetahuan umum. Madrasah juga menggunakan metode pengajaran modern, seperti kelas berjenjang, penggunaan meja, papan tulis, dan pembelajaran berbasis buku teks.

Pada awalnya, ulama kaum tua yang tetap mempertahankan model pendidikan tradisional surau menentang pembaruan ini. Namun, keberhasilan madrasah dalam menarik minat masyarakat mendorong beberapa ulama kaum tua untuk mengikuti langkah kaum muda dengan mengadopsi sistem madrasah di surau mereka. Proses ini tidak hanya mengubah cara pendidikan Islam berlangsung tetapi juga memperkenalkan model pendidikan yang lebih relevan dengan tuntutan zaman. Transformasi ini tidak hanya menunjukkan adaptasi terhadap kebutuhan pendidikan yang lebih modern tetapi juga mencerminkan penerimaan masyarakat terhadap perubahan yang memperkaya kehidupan keagamaan dan kultural mereka. Surau yang dulunya menjadi pusat pendidikan Islam tradisional kemudian bergeser fungsi menjadi tempat ibadah dan pengajaran Al-Qur'an saja, sementara madrasah menjadi simbol modernitas pendidikan Islam di Minangkabau. Transformasi ini mencerminkan dinamika dialog antara tradisi lokal, agama, dan modernitas yang terus berlangsung.

Keberhasilan implementasi filsafat "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" dalam pendidikan dan adat istiadat Minangkabau tidak hanya memperkuat identitas kultural masyarakat tetapi juga memberikan model harmonisasi antara tradisi dan agama yang dapat diadopsi oleh komunitas lain. Dengan terus berkembangnya pendidikan berbasis agama yang diselaraskan dengan nilai-nilai lokal, Minangkabau tetap menjadi contoh nyata bagaimana tradisi dan modernitas dapat hidup berdampingan. Penerapan filsafat ini juga menunjukkan bahwa ketika adat dan agama saling mendukung, keduanya dapat bersama-sama memberikan kontribusi positif bagi perkembangan masyarakat, menjaga kestabilan sosial, dan memperkuat kohesi komunitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline