Beberapa pakar membahas dampak perkembangan media digital pada demokrasi di Indonesia dalam sesi: "Indonesia Coming Online: What a Digital Media Surge Means for a Young Democracy", Rabu (16/10).
Janet Steele, dosen jurnalistik Universitas George Washington, Adam Clayton Powel III, pengamat dari Universitas Southern California dan Irwan Saputra, Direktur Eksekutf Dompet Dhuafa USA Inc., membahas dua isu yakni penyebaran hoax atau berita bohong dan polarisasi di Indonesia yang mulai merebak sejak pemilu 2014, saat hanya ada dua calon presiden yang bertarung.
Kedua isu tersebut juga membesar akibat adanya buzzer di media sosial -- pihak yang menyebarkan informasi dan memperkuat pesan politik, baik dibayar atau secara sukarela, dengan menggunakan akun asli atau palsu.
Adam Powell menyadari disinformasi dan misinformasi adalah isu serius di Indonesia. Namun, ia juga mencatat Indonesia telah mengambil langkah-langkah yang patut dicontoh.
"Indonesia memilih untuk mengatasi masalah ini secara frontal. Contohnya, KPU meluncurkan pusat myth buster," ujar Powell yang adalah Direktur Washington Policy Initiatives di USC.
Menurutnya lembaga itu adalah Bawaslu yang mendapat mandat untuk menanggapi dan mengantisipasi pelanggaran pemilu.
"Bawaslu memimpin deklarasi untuk menangkis dan melawan vote buying, penghinaan, penghasutan, dan konflik yang memecah-belah. Ini sesuatu yang saya rasa pemerintah Amerika belum lakukan," kata Powell.
"Bawaslu mendapat 102 dukungan, termasuk dari organisasi agama, organisasi orang muda, Facebook, Twitter, Google, dan juga komunitas anti-hoax Indonesia, dan juga dari kementerian."
Endy Bayuni, Redaktur Senior dan mantan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, yang ikut menghadiri diskusi ini, setuju dengan pandangan Powell.
"Telah ada beragam langkah yang diambil pemerintah dan masyarakat untuk menyaring informasi palsu," ujarnya.
"Kita semua saling belajar. Pemerintah belajar, media belajar, dan yang paling penting masyarakat juga belajar. Tahun 2014, berita bohong bisa sedikit mempengaruhi hasil pemilu. Tahun 2019, ada banyak berita bohong tapi masyarakat sudah belajar, dan bisa 'memutuskan pertemanan' dengan teman mereka yang menyebarkan berita palsu," papar Endy Bayuni.