Lihat ke Halaman Asli

Abdul MananAkbar

Apa yang melukai mu, berdarah padaku.

Di Antara "Voice" dan "Noise" Pasca Pemilu

Diperbarui: 24 Mei 2019   07:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Diantara voice dan noise pasca pemilu

Dalam kajian Sufi, ada pembahasan tentang perjalanan diantara khauf dan raja', bila seseorang dapat mengendalikan dua unsur yang berada disekitar mereka yaitu ketakutan dan harapan, maka kemungkinan selamat sampai pulau impian akan tercapai. Membiarkan diri tenggelam dalam perasaan ketakutan sama bahayanya dengan larut sepenuhnya dalam harapan. Itu yang saya pahami.

Seperti kondisi Pasca pemilu sekarang, atau, lebih jauh sebelum penetapan capres-cawapres yang hanya bisa dicalonkan 2 pasang untuk 200 jutaan rakyat  Indonesia yang beragam ini, membawa masyarakat kepada kurungan voice dan noise.

Voice dan noise, betapa pun kedua hal ini memiliki unsur pembentuk yang sama, yaitu, nada yang menjadi suara. Penerimaan bagi yang mendengar berbeda. Pada voice, umumnya manusia menerima, untuk mencari pesan, sebagai petunjuk menentukan sikap, terhadap noise manusia menghindar, karena bising, membuat tidak nyaman.

Voice dapat diterima karena memiliki struktur yang dapat ikuti, sistematika yang membuat mudah dicerna, sehingga menggerakkan bagi yang mendengarnya untuk menyerbakan secara masif. Nah, noise berbeda, tidak memiliki struktur, tidak sistematis, irama nada nya pun brutal naik turunnya,  sehingga malas orang menyebarkannya secara masif.

Pertanyaannya, siapa yang mampu membedakan antara voice dan noise yang sekarang sedang berlalu lalang tidak henti-hentinya beredar didepan layar kaca, dan layar hp buatan china?  apalagi sudah disupport VPN, 2 hari yang lalu.  Siapa? Ada yang bisa bantu jawab?

Tokoh atau institusi yang diharapkan hanya mengeluarkan voice, malah sering (dan mudah dibuktikan) menjadi produsen noise. Diantara masyarakat yang bermodalkan semangat untuk menyebarkan voice, sering tergocek oleh noise yang menggunakan pakaian voice, akhirnya ikut-ikutan tanpa sadar berulang-ulang menduplikasi noice. Viralkan! Info valid! Dst.

Lalu bagaimana sebaiknya agar kita bisa seperti Sufi atau salik yang selamat tiba di pulau harapan. Sampai halaman terakhir  pada buku yang saya baca, mereka selamat karena terus membangun rasa mahabbah, yang dibangun atas dasar al-'adl dan Ihsan: Keadilan dan mampu melihat kebaikan dari yang berbeda.

Wallahu a'lam. Selamat menunaikan ibadah puasa.

Wallahu a'lam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline