Penilaian Sumatif Akhir untuk Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2024-2024 telah usai dilakukan. Pekan ini guru sedang mempersiapkan rapor untuk nantinya diserahkan kepada siswa dan orangtuanya pada hari pembagian rapor. Seperti biasa, momen ini menjadi waktu yang mendebarkan bagi siswa maupun orangtua. Tidak sedikit yang harap-harap cemas menantikan hasil usaha selama satu semester. Rapor menjadi simbol pencapaian belajar meskipun seringkali angkanya lebih menggambarkan hasil akhir daripada proses yang sesungguhnya.
Saat ini, nilai-nilai yang tertera di rapor biasanya sudah sesuai dengan KKTP (Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran). Namun, dibalik angka-angka tersebut ada perasaan yang sulit diabaikan, apakah nilai tersebut benar-benar mencerminkan usaha dan kemampuan siswa?
Fenomena menarik muncul di Kelas 1. Beberapa siswa dengan polosnya mencoba menyontek jawaban teman. Aksi ini dilakukan terang-terangan meski para guru sudah memperingatkan sebelumnya.
Mengapa ini bisa terjadi? Padahal mereka baru saja memulai perjalanan panjang di dunia pendidikan formal.
Menyontek, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti "mencontoh, meniru, mengutip tulisan pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya".
Sebuah tindakan yang sekilas terlihat sederhana namun mengandung implikasi mendalam terhadap nilai kejujuran.
Mengutip dari etheses.iainkediri.ac.id, bentuk-bentuk perilaku menyontek antara lain melihat jawaban orang lain, mengizinkan orang lain menyalin atau melihat jawabannya, membuka buku secara sembunyi-sembunyi, saling tukar lembar jawaban, maupun melihat catatan kecil.
Para guru telah berupaya mengingatkan siswa untuk tidak menyontek, baik sebelum ujian dimulai maupun selama ujian berlangsung. Namun, perilaku ini tetap terjadi yang memunculkan pertanyaan besar tentang akar masalahnya.
Apakah tindakan menyontek ini murni karena ketidaktahuan siswa tentang nilai kejujuran atau ada faktor lain yang berkontribusi?
Mungkin saja, lingkungan sosial dan budaya turut membentuk pola pikir mereka.
Di sisi lain, peran orangtua juga menjadi sorotan. Adakah orangtua secara aktif mendidik anak untuk percaya diri dan mandiri dalam belajar dan ujian? Ataukah fokus orangtua hanya pada hasil ujian yang memuaskan?
Ternyata banyak orangtua mengajarkan anak bahwa nilai bagus adalah tujuan utama. "Rajin belajar, maka ujian akan mudah, dan dapat nilai bagus", begitu kira-kira nasihat yang sering terdengar. Namun, jarang ada yang menekankan pentingnya kejujuran meskipun hasilnya belum memuaskan.
Sikap ini menciptakan tekanan bagi anak. Mereka merasa harus meraih nilai tinggi agar tidak mengecewakan orangtua. meskipun dengan cara yang tidak seharusnya. Tidak heran jika akhirnya menyontek menjadi pilihan.