Di tengah asa memperbaiki sektor pendidikan, masalah dalam rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) akhirnya mencuat ke permukaan. Kejanggalan dalam proses ini telah memicu gelombang protes di berbagai daerah yang mempertanyakan sejauh mana transparansi dan keadilan dijunjung dalam seleksi yang seharusnya membawa transformasi pendidikan.
Adanya gelombang protes ini bukan tanpa alasan. Bayangkan saja yang lolos seleksi PPPK formasi guru ternyata bukanlah guru honorer.
Hal ini menjadi paradoks yang menodai tujuan luhur pendidikan, yakni mencetak generasi berkarakter dengan nilai kejujuran dan integritas.
Masyarakat mulai mempertanyakan transparansi sistem.
Bagaimana bisa orang yang menduduki formasi guru tanpa memiliki rekam jejak sebagai tenaga pendidik?
Di sini kita dihadapkan pada kemungkinan adanya celah dalam sistem dalam manipulasi data dan pelanggaran aturan.
Ironisnya, para guru honorer yang telah mengabdikan diri bertahun-tahun justru terdepak. Mereka yang berjuang di garis depan pendidikan dengan dedikasi telah merasa dikhianati oleh sistem yang seharusnya berpihak pada meritokrasi dan keadilan.
Protes pun mulai bermunculan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Dari guru, aktivis pendidikan, hingga para stakeholder lainnya. Mereka menyerukan perlunya pembenahan sistem menuntut kejelasan dan pertanggungjawaban dari pihak terkait.
Kita harus sadar bahwa pendidikan adalah tulang punggung bangsa. Dalam hal ini, guru adalah penggerak utama yang membentuk karakter anak-anak bangsa.
Bagaimana mungkin kita mengharapkan pendidikan yang berkualitas jika rekrutmen guru sendiri bermasalah?
Transparansi adalah kunci. Sayangnya, sistem yang ada saat ini tampaknya jauh dari kata tersebut. Sebagian besar kritik mengarah pada kurangnya pengawasan dalam pelaksanaan yang benar-benar sesuai aturan berlaku.
Manipulasi data menjadi isu serius. Fakta bahwa ada yang lolos melalui cara yang tidak semestinya menimbulkan pertanyaan tentang integritas sistem ini.