Di tengah gemerlap profesi yang menjanjikan materi melimpah, dunia pendidikan masih menyimpan cerita-cerita unik yang menginspirasi. Salah satunya datang dari mereka yang memilih jalan menjadi guru, meskipun tahu risiko finansialnya. Apa yang membuat seseorang meninggalkan zona nyaman dan melangkah ke dunia yang penuh tantangan? Jawabannya bisa jadi sederhana, namun sekaligus kompleks yakni "panggilan jiwa".
Indonesia sejatinya masih kekurangan guru. Jumlah tenaga pengajar yang memadai tidak sebanding dengan jumlah siswa yang terus meningkat setiap tahunnya. Namun, realitas ini seringkali luput dari perhatian banyak pihak.
Kekurangan ini tidak hanya terjadi di pelosok, tetapi juga di kota-kota besar. Masalahnya bukan hanya soal jumlah, tetapi juga kualitas.
Memilih jurusan pendidikan di bangku kuliah seakan menjadi langkah yang jarang dilakukan anak muda masa kini. Di saat teman-temannya sibuk mengincar jurusan favorit dengan prospek karir mentereng.
"Serius mau jadi guru?" adalah pertanyaan yang seringkali terdengar.
Menjadi guru di Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Rekrutmen guru kerap kali dinilai carut-marut. Banyak lulusan pendidikan harus memulai karir mereka sebagai guru honorer. Gaji yang mereka terima seringkali tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi mereka tetap bertahan.
Fenomena ini menyimpan kisah-kisah inspiratif. Ada rekan guru yang sempat bekerja di perbankan dengan gaji yang tentu lebih dari cukup. Namun, dia memilih resign dan menjadi guru SD dengan status honorer. Jika dihitung, gajinya saat ini bahkan tidak sampai seperempat dari penghasilannya dulu. Mengapa dia melakukan itu? Sebab, menjadi guru adalah panggilan jiwa, "katanya".
Kisah ini membuat saya berpikir, mungkinkah mereka ini datang dari "planet lain"?
Di dunia yang begitu materialistis, mereka memilih jalan sunyi untuk mendidik generasi masa depan. Tidak ada tepuk tangan meriah atau sorotan lampu gemerlap, tetapi mereka tetap melangkah dengan penuh keyakinan.
Guru (honorer) adalah pahlawan tanpa tanda jasa dalam arti yang sesungguhnya. Di tengah keterbatasan, mereka tetap mengabdikan diri untuk anak-anak bangsa. Meski harus merangkap pekerjaan lain (baca: penghasilan tambahan) untuk menyambung hidup, mereka memprioritaskan tugas utama sebagai pendidik.
Di desa-desa terpencil, guru honorer seringkali harus berjalan kaki berkilo meter jauhnya hanya untuk mencapai sekolah. kondisi jalan yang dilewati bukanlah jalan aspal, melainkan jalan tanah berlumpur yang licin saat hujan turun. Tapi, mereka melakukannya sambil "tersenyum".