Lihat ke Halaman Asli

Akbar Pitopang

TERVERIFIKASI

Berbagi Bukan Menggurui

Stop Menormalisasi Emak-emak "Caper" kepada Guru (Muda)

Diperbarui: 30 September 2024   22:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi guru muda di sekolah. | sumber: iStockphoto.com

Kasus asusila seorang guru dengan siswinya yang baru-baru ini terjadi di Gorontalo menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan. Kejadian ini seakan membuka mata kita bahwa meski kehangatan dan kedekatan adalah bagian penting dalam membangun ikatan di lingkungan sekolah, tetap ada batasan yang harus dijaga. Sekolah sebagai institusi pendidikan memiliki peran besar dalam menegakkan etika dan norma demi menjaga integritas hubungan dan atau interaksi antar warga sekolah.

Hubungan antara guru dan siswa harus dibangun dengan dasar profesionalisme. Guru sebagai pendidik dan role model, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan interaksi yang terjadi di dalam dan luar kelas selalu berada dalam koridor etis atau sesuai kode etik. 

Kedekatan emosional yang sehat tentunya diperlukan untuk mendukung proses belajar, tetapi penting bagi guru untuk tidak pernah mengaburkan prinsip profesionalisme dalam bentuk apapun.

Perlu diingat bahwa siswa adalah individu yang masih dalam proses pembentukan karakter. Mereka rentan dan mudah terpengaruh oleh figur pengayom seperti guru. 

Hal inilah yang menuntut para guru untuk tidak hanya fokus pada aspek akademik, tetapi juga berperan sebagai pendidik akhlak, pembentuk karakter, dan pengarah moral yang menjaga nilai-nilai luhur. 

Maka sekolah seharusnya menjadi lingkungan yang aman bagi setiap individu di dalamnya. Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk memiliki kebijakan yang jelas mengenai kode etik perilaku antara guru, siswa, dan orangtua. 

Kejelasan mengenai batas-batas interaksi ini perlu selalu disosialisasikan dan dipahami oleh semua pihak. Sehingga semua warga sekolah bisa bekerja sama dengan nyaman dan saling menghormati.

Kasus di Gorontalo ini juga menjadi pengingat bagi kita semua bahwa teknologi dan media sosial dapat menjadi pedang bermata dua. Interaksi antara guru dan siswa, meskipun terlihat wajar, tetap harus diatur secara bijaksana. Keleluasaan berkomunikasi secara daring bisa menimbulkan celah bagi pelanggaran batas profesional, apabila tidak diawasi dengan ketat.

Nah, menjaga batasan dalam setiap interaksi di sekolah merupakan tanggung jawab bersama. Guru, siswa, orangtua, dan juga pihak sekolah harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang kondusif, aman, dan profesional. 

Jika kita mampu menjaga batasan ini dengan baik, insiden seperti yang terjadi di Gorontalo dapat dihindari, dan dunia pendidikan akan menjadi tempat yang lebih baik untuk masa depan generasi penerus bangsa.

Guru muda dan wali murid. Bercanda boleh, asal ada batasan meski di media sosial. | ilustrasi via dream.co.id

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline