Lihat ke Halaman Asli

Akbar Pitopang

TERVERIFIKASI

Berbagi Bukan Menggurui

Forgive But Not Forget? Saatnya "Reset Emosi" Menuju Kebahagiaan Hakiki

Diperbarui: 11 Agustus 2024   01:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi | Sumber dari Pixabay

Memaafkan adalah salah satu tindakan paling mulia yang bisa dilakukan oleh seseorang. Kata "maaf" seringkali dianggap sebagai jurus untuk menyelesaikan konflik dan berharap semua hal kembali seperti semula. Namun, realitanya tidaklah sesederhana itu. Memaafkan tidak selalu berarti melupakan, apalagi menghapus perasaan terluka yang sempat ada. Di balik kata "maaf" yang sederhana, tersimpan perjalanan panjang menuju penyembuhan emosi yang tidak bisa diabaikan.

Dalam ajaran Islam, memaafkan dianggap sebagai tindakan mulia yang membawa kedamaian, baik bagi pemberi maupun penerima maaf. Allah SWT adalah Maha Pemaaf (Al-Ghofur). Allah SWT saja pemaaf, apakah manusia tidak demikian? Memang, proses memaafkan bagi manusia itu tidaklah selalu semudah yang dibayangkan. 

Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan oleh seseorang; waktu, kesadaran diri, dan keikhlasan. 

Memaafkan bukanlah hanya sekedar sebuah tombol yang dapat dipencet untuk mereset segala sesuatu. Lebih dari itu, memaafkan adalah proses yang kompleks dan sangat personal.

Seseorang yang mampu memaafkan menunjukkan kedewasaan dan kematangan emosional. Namun, menjadi seorang pemaaf juga berarti memahami bahwa memaafkan bukanlah sinonim dari melupakan apalagi pura-pura tidak pernah terjadi. 

Rasa yang telah berubah mungkin tidak akan pernah kembali seperti semula, dan itu adalah hal yang harus diterima dengan lapang dada.

Tidak jarang, luka emosional yang ditinggalkan oleh sebuah kesalahan bisa bertahan lebih lama daripada yang diharapkan. 

Hal ini karena luka tersebut berkaitan erat dengan rasa percaya. Ketika kepercayaan itu dirusak, maka dibutuhkan waktu yang tidak singkat untuk memulihkannya. Jadi, meskipun "maaf" telah diucapkan, hubungan tersebut mungkin tidak kembali ke keadaan sebelumnya.

Selain itu, memaafkan juga memerlukan pemahaman mendalam tentang diri sendiri. Apakah kita benar-benar mampu memaafkan dari hati? Atau kita hanya memaafkan secara lisan? Ini adalah pertanyaan yang seringkali harus kita jawab sendiri. 

Memahami perasaan dan ekspektasi diri sendiri adalah kunci dalam proses memaafkan, karena hal itu akan menentukan seberapa tulus kita dalam memberi maaf.

Jadi, saat kita mengucapkan kata "maaf", ingatlah bahwa itu bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari proses pemulihan. Sebuah proses yang memerlukan waktu, kesabaran, dan pemahaman mendalam tentang arti memaafkan yang sebenarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline