Kemendikbud telah memutuskan untuk menghapus penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) mulai Tahun Pelajaran 2024-2025. Kebijakan ini telah diusulkan sejak pengenalan Kurikulum Merdeka. Langkah ini tentu mengundang perhatian berbagai kalangan, dari pihak sekolah, guru, siswa, orangtua, masyarakat, hingga warganet. Apakah kebijakan ini diharapkan dapat membawa angin segar dalam dunia pendidikan Indonesia?
Sejak kurikulum yang lama, siswa SMA di Indonesia harus memilih jurusan ketika naik ke Kelas XI. Jurusan klasik seperti IPA, IPS, dan Bahasa sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan di SMA.
Namun, apakah sistem penjurusan ini masih relevan di era digital dan globalisasi yang penuh dinamika seperti sekarang?
Dunia kerja dan industri masa depan semakin menuntut kemampuan beradaptasi dan pengetahuan lintas disiplin. Dengan menghapus penjurusan, siswa SMA diharapkan dapat mengeksplorasi bidang studi atau mata pelajaran tanpa terkungkung dalam satu jalur tertentu.
Dunia kerja dan dunia kampus tetap menuntut siswa untuk mengembangkan keterampilan yang siap menghadapi tantangan masa depan yang tak terduga. Kepada siswa tetap ditekankan untuk menyadari pentingnya critical thinking, creativity, collaboration, dan communication.
Tentu saja, adanya kebijakan penghapusan jurusan IPA, IPA dan Bahasa ini membawa tantangan tersendiri bagi sekolah. Serta penyediaan fasilitas penunjang dan komposisi guru menjadi faktor krusial.
Implementasi yang baik dari kebijakan ini membutuhkan dukungan yang memadai bagi para pendidik dan satuan pendidikan.
Yang sangat penting adalah sekolah harus mampu menyusun kurikulum yang holistik dan fleksibel, agar mengakomodasi berbagai minat dan kebutuhan siswa agar dapat berdaya saing tinggi.
Mengurai Polemik dalam Pembagian Jurusan di SMA
Pembagian jurusan di SMA seringkali menjadi sumber polemik yang memicu kecemburuan sosial di kalangan siswa. Fenomena ini terjadi karena siswa jurusan IPA dianggap lebih unggul dan mendapatkan prioritas dari sekolah.
Di zaman dulu, kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan pemerintah daerah yang memberikan bantuan hanya kepada siswa jurusan IPA, sementara siswa dari jurusan lain seperti IPS dan Bahasa tidak mendapat perhatian serupa. Ketimpangan ini menciptakan ketidakadilan yang terasa nyata di lingkungan sekolah.
Sekolah dan guru seringkali memberikan perhatian yang lebih kepada siswa jurusan IPA. Mereka dianggap memiliki potensi lebih tinggi dalam bidang akademik dan masa depan yang lebih cerah.