Perihal dunia kerja memang menarik untuk terus dikaji lebih lanjut. Belakangan ini kita sering mendengar lingkungan kerja yang "toxic". Juga mengenai rekan kerja yang tidak suportif, persaingan tidak sehat, hingga kebijakan yang tidak adil. Semua itu dapat berkontribusi pada terciptanya suasana kerja yang negatif. Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi produktivitas, tetapi juga kesehatan mental para pekerja.
Tidak jarang pula kita menemui situasi di mana deskripsi pekerjaan (jobdesc) yang diberikan saat wawancara kerja ternyata tidak relevan dengan kenyataan di lapangan. Tugas-tugas tambahan yang tidak pernah dibicarakan sebelumnya kerap muncul secara "misterius". Sehingga membuat karyawan merasa terbebani.
Fenomena di mana tanggung jawab kerja semakin meluas tanpa ada penyesuaian kompensasi yang sepadan. Setidaknya saya punya pengalaman demikian tatkala masih bekerja di sebuah perusahaan.
Di sisi lain, godaan dari atasan yang menawarkan pekerjaan tambahan dengan melancarkan "rayuan maut" juga merupakan hal yang umum terjadi. Namun, tawaran ini seringkali datang hanya akan menambah beban kerja sedangkan waktu yang disediakan juga cenderung terbatas.
Dilema semacam ini membuat karyawan harus pandai-pandai menyeimbangkan antara karir, kehidupan personal, ataupun sikap profesional.
Hal-hal tersebut tidak hanya terjadi di perkantoran, tetapi juga sering dialami oleh mereka yang bekerja di instansi pendidikan.
Guru, misalnya, juga kerap ditawari berbagai tugas tambahan oleh atasan di luar tugas utamanya yaitu mengajar.
Jadi, begitulah ekosistem dunia kerja yang terjadi. Di semua jenis lapangan kerja sepertinya hal demikian tidak akan serta-merta hilang begitu saja.
Hanya saja, satu hal yang perlu kita pelajari adalah bagaimana cara terbaik kita dalam menyikapi.
Pengalaman "Dirayu" Atasan dan Rekan