Di era yang semakin maju seperti saat sekarang, memang sangat dibutuhkan yang namanya kreativitas dan inovasi. Kedua kata itu menjadi syarat untuk menciptakan pembangunan peradaban Indonesia yang berkesinambungan.
Segala lini harus disiapkan. Mulai dari usi dini hingga para mahasiswa di perguruan tinggi. Mahasiswa yang sedang menimba ilmu di kampus manapun harus disiapkan menjadi generasi yang terampil, cekatan dan berinisiatif tinggi.
Sebagaimana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Bapak Nadiem Makarim, yang telah menelurkan lima peraturan mengenai seluk-belum pengaplikasian program Merdeka Belajar, khususnya program Kampus Merdeka untuk kalangan mahasiswa.
Program kebijakan Kampus Merdeka yang digulirkan oleh Mas Menteri adalah sebuah ramuan untuk mencetak mahasiswa menjadi sarjana yang unggul, memahami kebutuhan zaman, dan siap menjadi pemimpin di masa depan.
Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) adalah sebuah program yang dapat membuka kesempatan emas bagi mahasiswa untuk mempeluas kapasitas wawasan serta daya saing di dunia nyata sesuai dengan aspirasi karier dan "passion".
Dimana ciri dari program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) ini memberikan esensi proses pembelajaran bagi para mahasiswa bahwa sebuah proses belajar dapat terjadi di manapun, tidak hanya sebatas di ruang kelas, labor, perpustakaan maupun di lingkungan kampus semata.
Melainkan secara pasti pembelajaran yang bermakna tetap bisa dipetik dari pengalaman yang disemai di desa, industri, pusat riset, program pengabdian, maupun di lingkungan masyarakat lainnya secara spesifik.
Mengakomodir hak mahasiswa meraih pengalaman kuliah lintas prodi
Program Kampus Merdeka ini berlandaskan Peraturan Mendikbud Nomor 3 Tahun 2020, yang intinya adalah memberikan hak kepada mahasiswa untuk mencicipi pengalaman belajar di luar program studinya dalam kurun waktu yang telah ditentukan dan disepakati bersama.
Yang terjadi di Kampus Merdeka saat ini adalah telah berubahnya pengertian mengenai Satuan Kredit Semester (SKS). Dari paparan oleh Mendikbud bahwa kini SKS dimaknai menjadi 'jam kegiatan', bukan lagi 'jam belajar'. Sungguh menarik sekali.
Perguruan tinggi harus mengakui hak mahasiswa yang hendak mengambil SKS di luar kampusnya sebanyak dua semester yang setara dengan 40 SKS. Dilakukan secara sukarela antara mahasiswa dan kampus asalnya.