Lihat ke Halaman Asli

Akbar Pitopang

TERVERIFIKASI

Berbagi Bukan Menggurui

Mudik: Pergulatan Rasa dan Tekanan Massa

Diperbarui: 17 April 2022   19:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi perjalanan untuk mudik (ANTARA Foto/Fauzan via Kompas.com)

Sudah hampir setengah bulan kita membersamai bulan yang suci ini. Tak lama lagi kita akan menjemput kemenangan di Idul Fitri nan dinanti. Begitupun selanjutnya kita akan ikut bersama-sama melanjutkan tradisi yang ada yaitu tradisi mudik lebaran.

Ya, mudik lebaran menjadi suatu agenda yang sudah disiapkan atau direncanakan sejak lama dalam kurun waktu tertentu. Seseorang biasanya sudah mempersiapkan diri untuk mudik lebaran di hari raya seperti Idul Fitri ini.

Karena pemerintah yang memang mungkin mengakomodir tradisi yang ada. Sehingga alokasi waktu cuti karena tanggal merah hari besar keagaman seperti hari raya Idul Fitri ini memang dirasa menjadi momen yang tepat untuk mudik ke kampung halaman.

Khalayak dari seluruh pelosok negeri dari sabang sampai merauke. Semuanya pasti pernah melakukan mudik, baik dilakukan setiap tahun ataupun di kurun waktu tertentu seperti misalkan setiap 5 tahun sekali.

Kami pun juga ikut merasakan sukacita kegiatan mudik lebaran ke kampung halaman ini. Beberapa tahun ke belakang, momen mudik yang dilakukan terasa begitu bermakna. Tidak hanya sekedar pulang ke kampung halaman, tapi ada nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung didalamnya.

Hidup jauh dari orangtua atau keluarga merupakan suatu perasaan sedih yang mendalam yang dipendam oleh setiap perantau atau para pejuang nasib. Mereka hidup berjauhan tidak hanya sekedar pilihan untuk berjauhan. Tapi dengan tujuan ada sesuatu yang bermakna yang akan didapat.

Begitulah para tetua sampaikan. Mereka yang berjuang hidup di rantau tidak hanya sekedar membawa pulang bukti juang berupa materi. Tapi pola pikir dan atau cara pandang menilai segala sesuatu yang tersurat maupun yang tersirat di dunia ini dinilai menjadi suatu hal yang bersifat positif.

via beritatrans.com

Bukti Kasih Sayang Orangtua Tak Terbatas

Sejak memasuki jenjang SMP, saya sudah mulai merasakan hidup berjauhan dengan orangtua. Diawali dengan "paksaan" dari orangtua agar saya melanjutkan sekolah di pesantren. Di masa-masa awal ini terasa begitu berat dan menyakitkan ketika harus berpisah dengan orangtua yang kita sayangi.

Pada masa awal transisi, saya juga terkadang masih suka menangis. Bagaimana tidak, itu adalah momen saya diajarkan untuk menjadi seorang pribadi yang kuat dan tidak cengeng. Tapi tetap saja saya sering meneteskan air mata. Bayangkan saja anak baru lulus SD berumur 12 tahun. Sudah harus menahan pedihnya rasa rindu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline