Lihat ke Halaman Asli

Akbar Hayqal

Mahasiswa dari Universitas Padjadjaran Bandung

Thrift Shop: Mengapa menjadi Salah Satu Bisnis yang Sangat Laku?

Diperbarui: 17 Juli 2024   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu pegawai Thrift Shop sedang melakukan livestream. (Sumber: Dokumen Pribadi)

Thrift shop adalah jenis toko ritel yang khusus menjual barang-barang unik bekas, yang biasanya dijual dengan harga lebih rendah daripada harga yang bisa ditemukan di toko ritel. Namun di Indonesia sendiri thrift shop cenderung dikenal sebagai toko penjual pakaian bekas impor.

Harganya yang murah membuat tren ini melejit pada saat pandemi terjadi. Ekonomi yang sedang menurun serta kecenderungan orang untuk menggunakan media sosial dirumah menjadi salah satu faktor terbesar dari kenaikan tren thrifting ini. TikTok menjadi salah satu media sosial yang digandrumi baik penjual maupun pembeli. Dengan adanya livestream serta fitur belanja langsung, memudahkan pembeli agar bisa melihat dan membeli tanpa harus melakukan kontak fisik.

Namun, apakah harga yang murah menjadi satu-satunya faktor memikat thrifting ini? Tentu tidak. Karena pada dasarnya pakaian murah sangatlah banyak dan mudah untuk ditemui, namun apakah kualitasnya bagus? Thrifting ini menawarkan kualitas yang tidak kalah baiknya, tentunya berdasarkan harga yang mana termurah adalah yang terburuk dan termahal adalah yang terbaik. Tetapi walaupun termahal, harga yang ditawarkan masih terjangkau dan jauh dibawah jika dibandingkan dengan kualitas pakaian yang ditawarkan.

Selain itu barang-barang dalam thrift shop dianggap unik, karena barang yang dijual dengan pakaian yang sama persis jarang ditemukan. Apalagi jika dihubungkan dengan bagaimana masyarakat Indonesia cenderung memiliki "gengsi" yang tinggi sehingga keunikan dalam berpakaian menjadi salah satu syarat agar mereka bisa bersosialisasi.

Toko Papap adalah salah satu thrift shop yang aktif berjualan di kanal TikTok. Ahdi, pemilik toko mengatakan bahwa ia lebih memilih untuk tidak membuat offline store dikarenakan modal yang diperlukan lebih besar, serta dagangannya lebih ramai jika berjualan secara online. Dengan modal rumah kosong yang ia miliki, ia menggunakannya sebagai studio untuk livestream serta gudang menyimpang barang-barang yang akan ia jual.

Hal yang mengejutkan adalah, bagaimana 1000 pakaian menjadi patokan bahwa ia harus melakukan restock. Itu menunjukkan bahwa peminat thrifting sangatlah tinggi sehingga 1000 pakaian pun dianggap tidak cukup. Ia mengaku bahwa setiap minggunya, ia membeli sekitar 2 hingga 4 bal pakaian yang mana 1 balnya berisikan 100kg pakaian bekas dalam segala kondisi.

Menarik bukan? Lalu apakah anda akan menjadi penjual atau pembeli dari tren ini? Mana pun sepertinya tidak akan rugi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline