Lihat ke Halaman Asli

Akbar Faizal

TERVERIFIKASI

Politisi

Pichacao, Grafiti di Sepanjang Rio de Janeiro

Diperbarui: 16 Agustus 2019   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

(Catatan Kecil tentang Rio de Janeiro)

*Akbar Faizal

Ini cerita tentang Rio de Janeiro, Ibu kota Brasil, negeri yang menjadikan sepak bola seperti agama kedua. Tapi bukan tentang Messi yang menuding Conmebol (Badan Sepakbola Amerika Selatan) sebagai organisasi korup setelah Argentina kalah 0-2 dari Brasil di semifinal Copa 2019. Juga bukan tentang ketegangan saya menonton final dari tribun level 3 Stadion Maracana Rio de Janeiro saat Brasil menang 3-1 atas Peru.

Bukan sebuah pertandingan yang hebat memang meski kedua tim dipenuhi pemain bintang semisal Coutinho di Barcelona, Firmino di Liverpool atau Gabriel Jesus di Manchester City. Gol pertama Brasil di menit ke-15 terlalu textbook saat Firmino mengirim umpan sejajar dari rusuk kiri pertahanan Peru ke depan mulut gawang dan diselesaikan dengan voli oleh Everton Sousa.

Saya tak tahu Everton bermain di klub mana. Tapi anak-anak Juku Eja PSM Makasar bisa melakukannya dengan teknik yang sama meski gaji Firmino di Liverpool untuk seminggu bisa senilai gaji pemain PSM selama 2,5 tahun. Tapi saya tetap bersorak segirang perempuan cantik bertubuh penari Samba yang duduk sejajar denganku. Cukup tentang bolanya.

Kembali ke soal Rio de Janeiro, kota berpenduduk 7 juta yang menderita karena Pichacao (baca: Pisyasao), grafiti yang mencoreti apapun yang berbentuk dinding di semua sudut kota. Vandalism ala Rio ini membuat kota yang sebenarnya indah karena dijilati pantai Copacabana yang masyhur atau Pantai Ipanema yang terkenal sejak Antonio Carlos Jobim menulis lagu pada tahun 1960 dalam judul asli "Garota de Ipanema" (gadis dari Ipanema) yang lalu mendunia setelah Frank Sinatra menyanyikannya dan mendapatkan Grammy pada 1965 dalam versi Inggris, The Girl From Ipanema.

Sedikit kisah tentang lagu ini, seorang gadis muda berusia 15 tahun bertinggi badan 173 cm bermata hijau dengan rambut panjang hitam terurai bernama Heloisa Eneida Menezes Paes Pinto tinggal di Jalan Montenegro distrik Ipanema. Setiap hari Heloisa berkeliaran di kawasan yang banyak kafe dan menarik perhatian Jobim dan Morales, dua pengunjung tetap sebuah kafe.

Baik saat pergi ke sekolah atau ketika muncul sekadar membeli rokok untuk ibunya. Helo terlalu cantik hingga Jobim menulis begini, "E um dom da vida em seu lindo e melancolico fluir e refluir constante." Ini adalah karunia kehidupan dalam gelombang pasang dan surut yang teratur, cantik dan melankolis.

Kecantikan Heloisa kini hanya tertulis dalam lirik lagu sebab kota Rio bahkan setiap hari terluka oleh grafiti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), grafiti adalah coretan-coretan pada dinding yang menggunakan komposisi warna, garis, bentuk, dan volume yang menuliskan kata, simbol, atau kalimat tertentu menggunakan cat semprot Pilox atau apa saja yang bisa menghasilkan bentuk gambar di dinding.

Hampir tak ada sudut kota yang bebas dari coretan. Pagar jalan utama, jembatan gantung, dinding hotel bahkan tembok gereja pun penuh grafiti yang sebenarnya lebih menyerupai coretan acak-acakan tanpa makna. Beberapa gambar memang hadir dalam permainan warna dan bentuk yang bisa diterjemahkan semisal gambar wanita cantik seperti lukisan di pantat mobil truk Pantura atau tulisan nama klub bola kesayangan Rio.

Tapi coretan gambar menyerupai tulisan yang menjadi kajian para arkeolog di penggalian situs-situs kota Yunani dan Mesir membuat kota ini terlihat muram setiap hari. Teror psikologis menjadi sempurna di malam hari. Gelap, muram dan mencekam oleh gambar yang mengirim pesan mematikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline