Lima Murid SD di Makassar Keracunan Obat, begitulah judul salah satu berita di media daring nasional tertanggal 5 Februari 2013 silam (Kompas.com). Salah satu murid menemukan obat di sekitar sekolahnya. Lantas memangil teman-temannya dan mengajak mereka meminum obat tersebut. Usut punya usut, mereka mengira dengan meminum obat tersebut, lari mereka akan bertambah cepat. Alih-alih menjadi lebih hebat berlari, mereka malah segera dilarikan ke rumah sakit karena keracunan.
***
Salah satu penyebab terjadinya kejadian seperti cerita di atas adalah akibat kelalaian konsumen obat. Pemilik obat tersebut membuang obatnya dengan cara yang tidak benar. Obat, dengan bentuk dan warna yang menarik, dapat memantik perhatian anak-anak untuk ‘memainkannya’ dengan cara mengkonsumsinya.
Masih tentang kelalaian membuang obat dengan cara yang tidak benar, pada kasus yang berbeda, yakni dengan membuang kemasan obat secara utuh, dapat mengundang pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menggunakannya sebagai kemasan obat-obat palsu. Bahkan, obat-obatan yang secara utuh dibuang−semisal telah memasuki tanggal kadaluarsa−dapat mereka jual secara langsung dengan mengganti kemasannya. Tidak sedikit kasus terkait obat palsu yang hingga kini dilaporkan, dan ini utamanya berasal dari kelalaian kita membuang obat dengan cara yang tidak benar.
***
Istilah pasien cerdas, awamnya didefenisikan sebatas proses memilih, menyimpan dan menggunakan obat. Padahal, kegiatan membuang obat pun harusnya dilakukan secara bijak. Tanggung jawab seorang pasien yang cerdas harus termaknai mulai dari proses memilih, menggunakan, menyimpan hingga membuang obat dengan benar. Alasannya, tentu saja karena obat berbeda dengan bahan makanan yang lain−senyawa kimia yang dapat berubah fungsi sebagai racun. Bukankah yang membedakan obat dan racun hanyalah dosisnya? Oleh karena itu, obat harus digunakan dalam dosis yang tepat dan dengan cara yang benar pula.
Obat yang dibuang adalah yang sudah tidak ‘layak’ digunakan lagi, tentu. Kategori ‘layak’ ini bisa dilihat jika obat yang kita miliki sudah mengalami kerusakan. Untuk membedakan obat yang sudah rusak dengan yang tidak, ada beberapa hal yang bisa dijadikan patokan. Pertama, sudah melebihi waktu kadaluarsanya. Sebab itulah, menjadipenting untuk tahu perihal waktu kadaluarsa suatu obat sebelum memutuskan menyimpannya. Patokan kedua adalah jika tampakan obat telah mengalami perubahan warna, termasuk timbul noda dan bau, rasa atau pun bentuknya sudah tidak sempurna. Sebagai contoh, jika obat itu berbentuk kapsul, puyer, atau tablet, untuk melihat apakah telah rusak atau belum, dapat diamati dengan indikasi apakah telah berubah menjadi lembab, lembek, basah,atau lengket. Selanjutnya, jika obat berbetuk cairan, salep, atau krim, perubahannya dapat dilihat dengan tampakannya yang menjadi keruh, mengental, mengendap, memisah,atau mengeras. Indikasi ketiga, obat juga dikatakan rusak jika wadah atau kemasan telah rusak, dan etiket (aturan pakai) menjadi tidak terbaca atau sobek. Obat-obat dengan tiga kategori seperti inilah yang seharusnya dibuang dan tidak dikonsumsi lagi.
Tapi tunggu dulu, sebab tidak cukup sampai di situ! Kegiatan membuang pun, perlu ditindaki dengan benar. Ini untuk menghindari penyalahgunaan obat rusak, kadaluarsa, bekas wadah oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Jika kita membuang obat dalam botol atau pot plastik, penting diingat untuk melepaskan etiket dan membuka tutup botol atau pot terlebih dahulu. Setelahnya, baru boleh dibuang ke tempat sampah.Adanya etiket obat yang melekat pada wadah obat yang kita buang, dapat memicu penggunaan obat yang tidak tepat oleh orang-orang yang memungutnya. Sementara, jika kemasan obat berbentuk boks, dos atau tube, sebelum dibuang ke tempat sampah, ia seharusnya digunting terlebih dahulu. Dan untuk kapsul, tablet atau bentuk padat lain, terlebih dahulu dapat dihancurkan dan atau dicampur dengan tanah, yang selanjutnya dimasukkan ke dalam plastik untukdibuang ke tempat sampah. Terakhir, untuk cairan (sirup), bisa dibuang pada kloset−kecuali antibiotika yang harus dibuang bersama wadahnya dengan menghilangkan label. Ada alternatif lain yang bisa ditempuh, dan mungkin lebih mudah, yakni membuka kemasan lalu menimbun obat dalam-dalam atau membakarnya hingga seluruh obat dipastikan telah musnah.
***
Menilik Negara maju, pemerintah daerah terlibat aktif dalam mendidik dan membantu masyarakatnya membuang obatnya secara baik dan benar. Di Amerika Serikat misalnya (http://www.medreturn.com/), untuk mencapai tujuan ini, pemerintahnya menjalankan sebuah proyek yang disebut dengan drug take-back program. Mereka menyediakan sentra-sentra pembuangan obat sementara yang salah satunya berlokasi di apotek-apotek sekitar tempat tinggal masyarakat. Keseluruhan sampah obat-obatan ini akan dikumpulkan dan dimusnahkan secara bersama-sama. Program ini didukung dan dibiayai oleh pabrik-pabrik obat dan dinas kesehatan setempat bertugas mengontrol jalannya program ini. Sekiranya, kita bisa meniru hal yang positif ini.
***
Memperhatikan cara membuang obat yang telah kita gunakan, minimal, dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kasus pada awal tulisan ini. Jangan sampai karena kelalaian kita dalam membuang obat mengakibatkan orang lain dalam bahaya. Jika ada hal-hal yang masih kurang dipahami, sebagai konsumen obat, kita seharusnya tidak segan bertanya langsung pada apoteker atau pada petugas kesehatan yang lain. Sebuah adagium menyatakan: malu bertanya, sesat di jalan. Mungkin, untuk kasus obat, malu bertanya, dapat berujung kematian!. So, Jangan Bunuh Orang Lain dengan Obat Anda.
Editor: Andi Sri Wahyuni Handayani
*Materi kampanye Gerakan Keluarga Sadar Obat (GKSO) Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Dimuat di Opini Koran Fajar, tanggal 3/3/2015 dengan judul Buanglah Obat dengan Benar
Muh. Akbar Bahar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H