Lihat ke Halaman Asli

Sistem Resertifikasi IAI Mereduksi Ruang Lingkup Pekerjaan Kefarmasian (?)

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1395975609332594354

Pekan lalu saya menghadiri kegiatan Silaturahim Apoteker Se-Makassar yang dilaksanakan oleh PC IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) Kota Makassar. Salah satu kegiatan dalam acara tersebut adalah sosialisasi Pedoman dan Tata Cara Re-Sertifikasi Kompetensi Apoteker yang dipresentasikan oleh pengurus PD IAI Sul Sel. Dalam penyampaiannya, pemateri menyampaikan bahwa setidaknya ada 3 latar belakang yang mendorong pelaksanaan sertifikasi/resertifikasi apoteker, diantaranya yaitu UU No. 36 Tahun 2009, PP No. 51 Tahun 2009 dan Permenkes 889 Tahun 2011. Untuk melakukan resertifikasi kompetensi apoteker, apoteker harus mengumpulkan Satuan Kredit Partisipasi (SKP) sebanyak 150 poin dalam kurun waktu 5 tahun dengan proporsi 40-50 % domain praktik profesi dan pembelajaran (masing-masing 60-75 SKP), 5-15 % domain pengabdian (7,5-22,5 SKP), seta 0-25 % domain publikasi ilmiah/populer dan domain pengembangan ilmu (masing-masing 0-37,5 SKP).

Pada tulisan ini saya tergelitik untuk mengomentari sistem resertifikasi yang dilaksanakan oleh IAI khususnya pada domain praktik profesi. Kinerja praktik profesi dibagi menjadi tiga bagian yaitu kinerja dibidang pelayanan kefarmasian, kinerja dibidang distribusi kefarmasian dan kinerja dibidang produksi/industri kefarmasian. Pembagian domain praktik profesi ini menjadi tiga bagian tersebut, menurut saya, mereduksi makna dan ruang lingkup praktik profesi atau pekerjaan kefarmasian.

Penggunaan kata-kata ‘praktik profesi/kefarmasian’ kita bisa temukan pada UU No. 36 Tahun 2009 pasal 108 ayat 1, dimana pada pasal tersebut dijelaskan bahwa praktik kefarmasiaan meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Selain itu pada PP 51 Tahun 2009 dan Permenkes 889 Tahun 2011 yang menggunakan kata-kata ‘pekerjaan kefarmasian’ juga menyatakan hal yang sama yaitu ‘Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.’Dalam ketiga dasar peraturan yang dijadikan landasan pelaksanaan sertifikasi/resertifikasi apoteker dinyatakan bahwa pekerjaan/praktik kefarmasian juga mencakup pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Jika kita melihat pengertian pengembangan di KBBI maka didapatkan penjelasan bahwa pengembangan merupakan proses, cara, perbuatan untuk mengembangkan (menjadikan baik, sempurna). Itu mengapa kata pengembangan selalu berpasangan dengan kata penelitian. Tahap penelitian dan pengembangan suatu obat, bahan obat dan obat tradisional mencakup skrining/sintesis, uji preklinik, formulasi dan uji klinik. Oleh karena itu jika kita merujuk pada ruang lingkup praktik kefarmasian sesuai pengertian diatas maka apoteker yang bekerja pada setiap tahap penilitian dan pengembagan obat, bahan obat dan obat tradisional seharusnya juga diakui sedang melaksanakan praktik/pekerjaan kefarmasian.

Saya menyadari bahwa rujukan cakupan pekerjaan kefarmasian yang digunakan oleh IAI adalah PP 51 tahun 2009 yang hanya mengatur pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi (pasal 2 ayat 1). Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam peraturan tersebut tidak ada pernyataan yang menyinggung mengenai pengembangan bahan obat, obat dan obat tradisional. Tetapi apa yang menjadi perhatian saya adalah apakah karena hal tersebut sehingga penelitian dan pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional bukan menjadi domain pekerjaan kefarmasian ? Bukankah ini mereduksi ruang lingkup pekerjaan kefarmasian ?. Lalu siapa yang bertanggung jawab akan pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional di negara ini ?.

Kemudian saya melihat bahwa pada kinerja dibidang industri kefarmasian terdapat penilaian kinerja terhadap apoteker yang bekerja di bagian penelitian dan pengembangan produk, tetapi pertanyaanya mengapa apoteker yang bekerja di lembaga-lembaga penelitian dan universitas yang melakukan penelitian dan pengembagan obat, bahan obat dan obat tradisional dianggap tidak sedang melakukan pekerjaan kefarmasian ?. Bukankah ini artinya IAI memaknai secara ganda PP No. 51 Tahun 2009 ?. Jika memang mau konsisiten seharusnya kinerja apoteker yang bekerja di bagian penelitian dan pengembangan produk tidak dihitung sebagai kegiatan praktik profesi.

Mungkin ada yang berpendapat bahwa untuk apa orang-orang yang bekerja dibidang penelitian dan pengembangan mendapatkan sertifikat kompetensi. Pertama, melalui tulisan ini saya hanya ingin mengingatkan bahwa domain praktik/pekerjaan kefarmasian itu sangat luas, mulai dari pembuatan hingga pengembangan produk. Segala sesuatu yang terkait dengan obat, dari hulu ke hilir, adalah tanggung jawab profesi apoteker. Inilah yang membuat profesi apoteker menjadi unik karena domainnya mencakup tanggung jawab ke pasien dantanggung jawab ke produk yang akan digunakan oleh pasien. Tanggung jawab ini tidak dimiliki oleh tenaga kesehatan yang lain. Oleh karena itu pada era asuhan kefarmasian saat ini, peran apoteker seharusnya dikatakan menjadi lebih luas (bukan digeser), yang tadinya hanya fokus pada produk kini dituntut juga berfokus kepada pasien. Lalu saya berharap bahwa sisitem resertifikasi yang dilaksanakan IAI tidak mereduksi ruang lingkup praktik/pekerjaan kefarmasian.

Kedua, sertifikat kompetensi juga dibutuhkan oleh bapak/ibu dosen kita yang bekerja diperguruan tinggi farmasi karena sesuai Standar Pendidikan Apoteker Indonesia (saya belum tahu apa sudah di SK-kan oleh IAI, karena belum bisa diakses online) danStandar Pratik Kerja Profesi Apoteker (SKPA) yang dikeluarkan oleh APTFI menyatakan bahwa pengajar profesi apoteker, pendamping praktek kerja profesi apoteker dan penguji ujian apoteker diharapkan memiliki sertifikat kompetensi. Lalu bagaimana mereka bisa melakukan resertifikasi jika mereka tidak bekerja di apotek, rumah sakit, klinik, pbf, maupun industri ?. Fokus kerja mereka ada dipengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional, tetapi domain ini tidak mendapatkan pengakuan sebagai bagian pekerjaan kefarmasian dalam sistem resertifikasi IAI. Apakah mereka dituntut untuk ikut-ikutan membuka apotek sementara mereka sadar dan mengajarkan bahwa tidak boleh ada pelayanan tanpa apoteker ?. Ataukah mereka tidak boleh lagi mengajar, membimbing dan menguji apoteker ?. Mungkin juga ada yang berpendapat mereka kan profesinya bukan lagi sebagai apoteker tetapi sebagai dosen. Hal ini juga benar, tetapi sebagai dosen mereka tetap dituntut untuk mengajar dan meneliti kan?. Bukankah mereka mengajar calon apoteker dan melakukan penelitian serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional ?. Lalu bukankah tanggung jawab pendidikan, penelitian dan pengembangan tersebut tanggung jawab seorang apoteker ?.

Saya yakin banyak sekali kelemahan atas tulisan saya ini, jadi mohon masukan dan penjelasan dari teman-teman sejawat dan pengurus IAI.



Makassar, 28-3-2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline