Lihat ke Halaman Asli

Menjejak Simeulue, Menikmati Indahnya Mitigasi Bencana ala Bumi Ate Fulawan

Diperbarui: 11 Juli 2015   13:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Pertengahan September 2013, saat itu saya dan 98 orang teman lainnya yang tergabung dalam laskar Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) angkatan 3 utusan Universitas Negeri Medan menunggu keberangkatan maskapai Sky Aviation di Terminal Bandar Udara Kuala Namu menuju Pulau Simeulue. Dari balik dinding kaca ditambah hawa sejuk bandara saya memandang deretan pesawat yang lalu lalang dari dan ke Bandara Kuala Namu. Saya merasa menjadi orang yang paling “kampungan” pada saat itu sebab untuk kali pertama saya akan menaiki pesawat terbang, pertama dalam hidup.

Saat yang ditunggu tiba, bersama teman-teman saya berangkat kloter pertama. Hawa dingin AC dalam pesawat terasa saat saya duduk di bangku pesawat tepat di samping jendela kaca pesawat. Saya mengintip dari samping saat pesawat lepas landas dan terus membuka mata serta mengarahkan kamera ke arah pemandangan rangkaian daratan Sumatera kawasan bukit barisan. Satu jam melayang di udara, terlihatlah bentangan pulau kecil nan indah di lepas pantai Sumatera yang bernama pulau Simeulue. Hamparan pulau dengan garis pantai yang biru nan menawan, sangat menakjubkan.

Pesawat mendarat dengan mulus di bandara Lasikin, Sinabang, kali pertama menghirup segarnya udara Pulau Simeulue. Tak lama di Bandara, kami dijemput dengan bus oleh pihak Dinas Pendidikan untuk menunggu kloter keberangkatan kedua. Setelah rombongan kloter kedua sampai kami dikumpulkan di pendopo bupati dan diberi pengarahan serta penempatan sekolah pengabdian untuk menjalankan tugas mendidik selama setahun. Setelah menunggu dan menunggu, akhirnya voilaaa!!! Saya ditempatkan di SMP Negeri 2 Teupah Selatan, desa Badegong. Rasa penasaran semakin besar. Sore hari menjelang malam, saya diantar menuju rumah kepala sekolah dengan mobil pick up, pengalaman yang sangat menegangkan menyusuri jalan yang sepanjang pinggirannya tidak ada ruh satupun. Setiap ratusan meter sinyal di handphone mulai menghilang garis demi garis hingga tidak ada sinyal sama sekali. Sesampainya di rumah kepala sekolah, saya disambut dengan candaan hangat, makan malam dan dipersilakan istrirahat agar esok hari dapat diperkenalkan dengan siswa-siswi sekolah. Keesokan hari saya ke sekolah dan bertemu dengan wajah-wajah haus ilmu, rindu pendidikan yang bermutu. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan berlalu, saya dan siswa, masyarakat sudah menyatu bak keluarga.

Teupah Selatan tempat saya bertugas sebagai guru SM3T adalah satu dari sekian banyak daerah di pulau ini yang menjadi saksi bisu ganasnya terjangan tsunami pada 2004 yang lalu. Bahkan sekolah tempat saya mengabdikan diri mendidik anak-anak nusantara ini berdiri kokoh di tempat yang hanya berjarak sekitar 30 meter dari tepi pantai dan hanya sekolah ini satu-satunya bangunan yang ada, sebab beberapa kilometer radius kiri dan kanan sekolah hanya berdiri pohon-pohon bersanding sisa-sisa runtuhan rumah penduduk yang diterjang gempa serta tsunami. Tepat di samping sekolah berdiri masjid yang sudah tak terpakai, merupakan saksi bisu ganasnya terjangan tsunami, satu-satunya bangunan yang masih bertahan.

Kondisi Sekolah dan Salah Satu Desa di Kecamatan Teupah Selatan pasca Tsunami

 

Beberapa desa seperti Sineubuek, Ulul Mayang, Kebun Baru, Alus-Alus, Badegong, dan Latiung yang berada di bibir pantai merupakan desa-desa di kecamatan Teupah Selatan adalah permukiman penduduk yang ramai dahulunya. Anak-anak bermain di tepi pantai dan di sekolah. Masjid, perkampungan, kantor desa, dan fasilitas lainnya ada di sana. Namun, kini beberapa wilayah di bibir pantai desa tersebut seperti kampung mati sisa amukan gempa dan tsunami 2004 silam. Di kecamatan inilah saya meniti kehidupan selama setahun. Beberapa meter dari tepi laut yang ditelusuri hanya mempertontonkan bekas-bekas reruntuhannya saja. 26 Desember 2004, debur ombak terdengar jelas dan menghancurkan keheningan pagi pada saat itu. Pantai yang dulu ramai dipakai untuk bermain anak-anak juga mengirimkan air yang berwarna hitam pekat dan langsung menyeret harta benda mereka, seketika itu fenomena alam ini menghancurkan keceriaan anak-anak pada saat itu..

Sebenarnya, jauh sebelum saya menapaki Kabupaten Simeulue, saya sudah memiliki rasa penasaran yang amat besar. Penasaran tentang apa? Yang jelas tentang ganasnya gempa bumi Aceh dan tsunami di lepas Samudera Hindia pada 26 Desembr 2004 silam. Rasa penasaran terus menggelayut di dalam benak saya, bagaimana bisa penduduk pulau ini bertahan dengan terjangan tsunami yang rata-rata tingginya saat itu mencapai 10 meter, bagaimana bisa pulau ini tidak tenggelam sementara ianya bertetangga dekat dengan episentrum gempa yang guncangannya luar biasa hebat, dan yang paling mengganggu fikiran sekaligus menambah kekaguman saya adalah bagaimana bisa pulau dengan status setengah terisolasi dan tertinggal serta minim teknologi pada saat itu menjadi daerah paling rawan dengan korban paling sedikit sementara puluhan ribu penduduknya bermukim tak jauh dari bibir pantai?. Banyak tulisan-tulisan sejarah yang menceritakan tentang Kabupaten di lepas samudera Hindia ini, namun hati tetap bergumam bahwa jawaban dari seluruh pertanyaan yang menggelayut tersebut harus datang dan bersumber dari saksi mata yang merasakan langsung detik demi detik terjangan bencana alam mahadahsyat di abad 21 tersebut.

Adalah Bu Zainab (46) yang menjadi narasumber saya selama tinggal di Simeulue. Saya mengetahui semua cerita tentang dahsyatnya amukan tsunami dari beliau.

“Dulu, ngeri kali ombaknya tu, Bar” Zainab memulai cerita dengan logat Simeulue memberitahukan ganasnya tsunami saat itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline