Lihat ke Halaman Asli

Mempertahankan Tradisi atau Alih Fungsi

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

tulisan ini berdasarkan pengalaman saya melakukan penelitian di Pulau Madura provinsi Jawa Timur. Berkenaan dengan Indonesia memiliki sejarah panjang di kelautan , sampai muncul lagu masa kanak-kanak yang terkonstruksi nenek moyangku seorang pelaut. lagu tersebut masih menjadi bagian kehidupan yang melekat pada masyarakat Madura Khususnya Desa Camplong bahkan menjadi dogma.  Aktifitas yang dilakukan penduduk Camplong dalam kesehariannya adalah melaut, menggunakan konsep milik Capra dalam buku Ekologi Marx masyarakat menganut turunan teori etika lingkungan yaitu ekosentrisme.  Penganut paham tersebut menggugah ekologi dipahami secara utuh, menyeluruh. Alam  dan komunitas masyarakat hidup berdampingan untuk keseimbangan ekosistem.

Nelayan pada wilayan tersebut mempertahankan caranya dalam melaut, hasil tersebut tidak lebih terbatas pada upaya untuk menyambung hidup, alat yang digunakan jaring-jaring rajutan tangan dan perahu kayu sebagai transportasi. Dasar asumsi tersebut menggiring pemaknaan masuk dalam kategori nelayan tradisional dari bingkai fungsional. Masuknya inversator asing seolah mengacaukan tatanan sosial masyarakat Desa Camplong, PT. Santos (off shore) adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan sumber daya alam asal Australia menanamkan modalnya ke Pulau Madura. Kegiatan eksplorasi yang dilakukan memang di laut lepas dan tidak bersinggungan secara langsung dengan penduduk Camplong.

Dampak yang muncul bahwa sebuah komunitas Nelayan di Desa tersebut mengalami gangguan dari pihak korporasi (PT. Santos) karena telah terusir dari tanah sendiri. Klaim bahwa nelayan dianggap mengganggu aktifitas pengeboran lepas pantai. Kasus tersebut membuat geram sejumlah nelayan, belum ada angka drastis penurunan hasil tangkapan laut sejak beroperasinya korporasi tersebut. Hal tersebut membuat masalah baru terutama perihal keahlian nelayan, rata-rata pendidikan mereka sebatas lulusan Tsanawiyah-setara dengan tingkat SMU atau SLTA-  kosmologi pengetahuan tentang menangkap ikan hanya praktis dapat dilakukan dengan alat jaring tradisional. Demikian pun keahlian yang lain, adanya korporasi memaksa nelayan untuk beralih profesi menjadi pekerja pertambangan. Eskalasi konflik masyarakat versus korporasi menggiring untuk mengalihkan keahlian dari nelayan dengan mengantisipasi dampak kebocoran pengeboran akan merusak biota laut yang ada di Pantai Camplong.

Bukan merupakan hal baru jika investor selain menimbulkan konflik mengancam pola hidup madani yang sebelumnya tertata dengan rapi. Resolusi konflik muncul bukan sebatas memberikan sebuah Charity -sumbangan berupa bantuan- kepada komunitas maupun masyarkat lokal, akan tetapi bahwasanya sumber daya tersebut jika menggunakan pandangan Ekosentris, menjaga lingkungan secara utuh tetap harus  dilakukan mengingat kepemilikan bukan lahan bukan hanya korporasi saja namun masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut memiliki hak secara penuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline