“Kita harus menerima tafsir harfiah atas Al-Kitab jika ada teori ilmiah yang terbukti secara tak terbantahkan” kata Galileo yang mencoba berargumen dalam sidang yang diadakan institusi agama yang menganggap pemikiran Galileo melawan gereja (agama) saat itu.
Kemenangan agama telah tampak didepan mata dengan dihukum gantungnya Galileo. Saat itu memang agama kuasai Eropa. Lebih dari seribu tahun sebelum renaissance. Semua pemikiran ilmiah dari sains diberangus. Membuat pencarian ilmu yang didasarkan oleh kerja otak yang ilmiah dan logis menjadi amat mustahil. Dunia dikejutkan oleh terbunuhnya Galileo yang mencoba membantah ajaran Al-Kitab. Tak cukup dengan itu, kekejaman masih berlanjut. Siapapun yang dicurigai bertabiat seperti Galileo, diikat di antara kuda-kuda yang berlari, dan tercerai-berailah tubuhnya sampai keluar isi perutnya, lalu digantung atau dibakar ditiang pancang. Bahkan ilmuwan yang telah matipun mendapat santapan kekejaman agama. Tulang tulang Ilmuwan bernama Wycliffe yang telah terkubur, diperintahkan untuk digali kembali, dipatah-patahkan, dan dibuang ke laut. Hanya karena membuktikan berdasarkan fosil dan geologi bahwa bumi paling sedikit telah berusia beberapa ratus ribu tahun, bertentangan dengan Uskup Agung Ussher yang menyimpulkan dari studi Bibelnya bahwa dunia lahir pada jam 9 pagi, hari Minggu 23 Oktober 4004 SM. Semua itu tak berlangsung lama. Kaum ilmuwan mulai mengeluarkan taring-taringnya. Darwin mengemukakan penemuanya. Dalam debat dengan utusan gereja, utusan Darwin memaku para agamawan hingga tak berkutik. "Biar dirimu saja yang berasal dari monyet" kata utusan gereja itu ber ed hominem. Dibalas dengan telak oleh utusan Darwin dengan kalimat, "lebih baik bernenek moyang monyet daripada seorang pastor." Alhasil tak ada yang bisa diperbuat oleh kekerasan dan konflik. Paling-paling menginspirasi Dan Brown untuk menulis novel fenomenalnya "Angel and Demons" yang berisi pembalasan kaum intelektual kepada gereja (Vatikan) dibawah naungan organisasi Iluminati. Bahkan yang paling pedas dari efek kekerasan itu adalah memotivasi orang untuk melawan pelaku kekerasan itu. Terbukti, ditengah aroma spritualitas yang semakin menurun baunya, asap ilmu pengetahuan atau sains membumbung tinggi menaungi masyarakat. Yang semula bertujuan untuk memurnikan ajaran Tuhan, ternyata berakhir dengan penentangan ajaran langit. Serta merta orang-orang yang masih setia dalam iman agama dikategorikan masyarakat kolot, jumud, kampungan dan bodoh. Dan orang-orang yang memuja sains digolongkan pencipta era renaissance, aufklarung, enlightmen atau orang-orang tercerahkan.Romo Magnis Suseno berkeyakinan bahwa penolakan terhadap agama atau penganut atheis tidak disebabkan oleh hasil olah pemikiran, filsafat atau sains. Tapi menjadi atheis karena disebabkan oleh prilaku kekerasan yang seolah direstui agama.Maka kita bisa simpulkan bahwa perilaku yang tak manusiawi walaupun dengan tujuan yang baik tetap tak bisa dibenarkan dan tak kan bertahan. Pertikaian ini tak akan ada ujungnya ketika kekerasan tetap ditampilkan dalam bentuk apapun. Charlie Hebdo yang lagi heboh belakangan ini juga memainkan kekerasan dalam bentuknya yang berbeda. Ia menghina. Yang dianggapnya sebagai kebebasan berekspresi. Walau begitu ia memecat dua karyawanya yang dengan santun mengkritik israel. Bila yang satu menggunakan senjata pedang, lawannya memakai senjata lidah dalam bentuk pelecehan dan penghinaan. Melecehkan dan menghina tentu patut dikutuk bersamaan dengan kutukan terhadap pembunuhnya. Saya berkeyakinan bahwa tak perlu institusi agama atau sains untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Kedua hal ini tak mungkin bercampur. Bill Donohue, presiden dari Catholic League di US sana bisa mewajarkan kemarahan kaum muslim atas penghinaan Nabi mereka. Ketika penghinaan masuk dalam kebebasan berekspresi, maka marah hingga membunuhpun berhak dimasukan dalam kebebasan berekspresi juga, yang merupakan pembelaan dari penghinaan itu. Kemarahan, penghinaan, pembunuhan tak perlu keraguan untuk dimasukan dalam kamus keburukan. Dan segala keburukan layak dikutuk. Seperti lingkaran, tak punya ujung. Mereka berputar disitu-situ saja. Kadang menjadi sebab, kadang menjadi akibat.Maka sudah saatnya keramahan dan kesantunan harus ditonjolkan. Kita buat lingkaran baru dalam aroma kebaikan yang harumnya menyegarkan jiwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H