Lihat ke Halaman Asli

aka_iaannooo

Indonesian 🇮🇩

Dirgahayu Polri ke-74 Tahun: Polisi sebagai Hukum yang Hidup dan Pandu bagi Masyarakat Indonesia

Diperbarui: 1 Juli 2020   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lambang Polisi bernama Rastra Sewakottama yang berarti "Polri adalah Abdi Utama dari pada Nusa dan Bangsa." | idnfinancials.com

"Sebagai seorang Pandu dalam Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) sangat meresap dalam kalbuku. Sumpah Pandu sebagai pengabdi tanah air tanpa pamrih, suci dalam pikiran, kata-kata dan amal perbuatan, serta untuk tiap hari berbuat kebajikan. Sumpah Kepanduan ini tumbuh sebagai pedoman hidup yang senantiasa didasari dalam tugas apa pun selanjutnya" (Awaloedin Djamin & G. Ambar Wulan: 2016). Ungkapan ini disampaikan oleh Jenderal (Pol) R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kepala Kepolisian Negera Republik Indonesia (Kapolri) pertama (1980).

Hari ini 1 Juli 2020, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) genap berusia 74 tahun, usia yang relatif tidak muda lagi. Sejak lahir tahun 1945 pasca kemerdekaan Indonesia, Polri telah hadir ditengah masyarakat untuk memelihara keamanan dan ketertiban rakyat, menegakan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Dalam lintasan sejarahnya, Polri banyak terlibat dalam menyelesaikan permasalah yang terjadi di tanah air, dari yang eskalasi ancamannya biasa hingga luar biasa.

Titik balik dinamika perjalanan korps Bhayangkara diawali pada tahun 2002, melalui TAP MPR RI Nomor VI/MPR/2000 Tahun 2002 Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia Dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal ini merupakan salah satu tuntutan reformasi dan tantangan masa depan bagi Polri, sebab sejak saat itu Polri telah menjadi institusi sipil yang independenden dengan kewenangan atribusi oleh Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menjalankan tugas pokoknya yaitu: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sejak menjadi institusi dengan status sipil, Polri harus menjalankan tugas sebagai pengawal, bahkan pendorong, proses-proses demokrasi. Sebuah tugas sejarah yang tidak ringan, terutama karena kontestasi discourses di ruang publik masih berlangsung dengan ketat. Selain seluruh anggota Polri pun membutuhkan pencerahan dan penyeragaman pengetahuan atas hal ini (M. Tito Karnavian & Hermawan Sulistyo: 2017)

Statusnya sebagai institusi sipil menjadikan Polri lembaga yang akan selalu berinteraksi dengan masyarakat bersama dinamika perubahan sosialnya. Maka dari itu Polri dan masyarakat sudah sewajarnya harus saling bekerjasama dalam berbagai aspek kehidupan untuk menghadapi dinamika perubahan sosial yang merupakan bagian dari proses globalisasi. Wujud nyata Polri sebagai institusi sipil dapat dilihat dari perannya sebagai hukum yang hidup dan pandu bagi masyarakat Indonesia.

Polisi sebagai Hukum yang Hidup

Disebut sebagai hukum yang hidup karena pekerjaan polisi berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini telah menempatkan polisi untuk berhadapan dengan berbagai dinamika perubahan sosial. Salah satu contohnya ialah adanya tindak pelanggaran dan/atau kejahatan yang mengancam kehidupan masyarakat, bahkan tentu saja polisi tersebut. Namun, semua hal itu sudah menjadi resiko dari tugas dan perannya.

Dalam dinamika perubahan sosial itulah polisi, hukum, dan masyarakat adalah tiga variabel yang akan selalu terjalin sebab masyarakat akan terus bersinggungan dengan polisi yang notabanenya adalah pemelihara keamanan dan ketertiban rakyat, penegak hukum, serta pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Hal demikian senada dengan pernyataan Satjipto Rahardjo (Guru Besar Hukum Progresif UNDIP) yang akrab disapa Prof. Tjip bahwa, masyarakat lebih banyak bersinggungan dengan lembaga kepolisian, karena polisi-lah penegak hukum yang mudah dijumpai di tempat terbuka atau di jalan-jalan (Satjipto Rahardjo: 2007).

Dengan demikian maka, menegaskan pula bahwa esensi pekerjaaan polisi adalah menjalankan kontrol sosial. Dalam struktur negara dan hukum modern sekarang ini, kontrol tersebut menjadi bagian dari kontrol sosial yang dilakukan oleh pemerintah. Sifatnya menjadi birokratis, formal, dan prosedural. Sejalan dengan itu, polisi juga dapat disebut sebagai penjaga status-quo. Dalam arti yang umum, makna kontrol sosial lebih luas. Setiap usaha untuk mempengaruhi dan menundukan perilaku individu pada norma-norma masyarakat dalam kontrol sosial (Satjipto Rahardjo & Anton Tabah: 1993).

Dalam tingkat perkembangan hukum modern sekarang ini, mekanisme kontrol tersebut terutama dilayani, oleh apa yang disebut "Sistem Peradilan Pidana" atau The Criminal Justice System, dan polisi menjadi salah satu pilar penyanggah yang penting dan berada paling depan. Ketika menjalankan tugasnya, polisi dapat dikatakan sebagai hukum yang hidup karena melalui polisi hukum itu dijalankan, lihat saja bagaimana proses dalam criminal justice system, polisi-penuntut umum (jaksa)-hakim (pengadilan)-lembaga pemasyarakatan. Untaian sistem ini menunjukan bahwa polisi menjadi pintu pertama ketika masyarakat bersinggungan dengan hukum. Ketika terjadi suatu tindak pelanggaran dan/atau kejahatan maka polisi akan segera menyelidiki dan menyidiknya, kemudian hasil penyidikan tersebut dilimpahkan ke kejaksaan untuk nantinya diadili oleh hakim. Akhir dari proses terebut ialah lembaga pemasyarakatan sebagai institusi yang bertugas membina para pelaku tindak pidana agar ketika mereka bebas telah siap untuk bermasyarakat lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline