Lihat ke Halaman Asli

Sederhana

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku bertanya pada Hujan, “Apakah kau tercium bara api liukan Pangeran Semesta?”

Hujan menjawab,”Tak perlu angin sebagai petunjuk liukan apinya. Karena Pangeran tidak sunyi memainkan apinya. Dia amat bergelora meloncat-loncat girang-memercik tuk menghampirimu. Geliat tubuhnya sangat ramai mengunjungi ruangmu. Tidakkah kau dengar sorakkannya memanggilmu, cinta?”

Aku terdiam. Mencari bentuk ‘Sederhana’. Bagiku cinta Sang Pangeran Semesta, tidak sederhana, melainkan ‘Luar Biasa’. Dan aku tak boleh menjadi kayu, tapi jika aku kayu dan beubah menjadi abu, aku ingin menjadi abu yang selalu digenggamnya. Tetapi aku tak mau redup, apalagi mati.

Wahai, Pangeran Semesta, Bolehkah aku menjadi begini saja? Begini yang selalu kau genggam erat dan tak ingin kau coret dari sejarah.

Apakah permintaan aku ini rumit? Tidak sederhanakah? Ah, aku tak tahu. Yang aku tahu, aku mencintaimu. Titik! Aku, perempuan, tak lagi kesepian setelah menemukanmu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline