Lihat ke Halaman Asli

Yakin Makanan Anda Halal?

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MESKI jumlah penduduk muslim di Indonesia sangat besar, namun bukan berarti masyarakat disuguhi makanan halal. Meski penyedia jasa layanan makanan jelas-jelas beragama islam, namun bukan berarti makanan yang mereka kelola "halal". Halal di sini, bukan hanya sebatas jenis makanan saja, tetapi juga termasuk proses pengolahannya.

Jika kita mau menelisik secara mendalam mengenai kualitas halal makanan di Indonesia, polemik, hingga pro dan kontra pasti akan bermunculan. Penjaja makanan di pinggir jalan, jasa catering, pemilik rumah makan dan restoran, hingga hotel berbintang, semua akan mengetengahkan pembenaran kehalalan makanan mereka.

Cara mudah pembuktiannya, cukup meminta ditunjukkan sertifikat halal yang dikeluarkan MUI setempat. Simpel, mudah, dan tak perlu repot-repot berargumentasi mengenai makanan mereka. Bahkan bisa menjadi kartu truf bagi konsumen.

Sayangnya, sertifikasi halal MUI ini belum menjadi prioritas pemilik jasa/usaha makanan setengah jadi dan makanan jadi. Buka saja data MUI, berapa banyak rumah makan atau restoran yang memiliki seritifikat halal. Jangankan warung kecil di pinggir jalan yang bertebaran di Indonesia dan sangat sulit dilakukan pengawasan, hotel, restoran, hingga jasa catering yang terbilang memiliki omset cukup besar pun masih banyak yang belum menyertakan sertifikat halal dalam usaha mereka.

Makanan halal masih menjadi anak tiri di negeri ini, meski termasuk domain penting dalam Islam. Ini terlihat dari kurang seriusnya perhatian pemerintah. Halal masih dianggap tidak relevan dalam kehidupan bermasyarakat.

Faktor penyebab lemahnya penggunaan sertifikasi halal dalam industri makanan, yakni sosialisasi yang kurang dilaksanakan secara optimal, terpadu, dan berkesinambungan. MUI, sebagai lembaga pemberi sertifikat halal juga kurang mendapat dukungan dari penegakan hukum, bahkan penindakan terkait klaim halal palsu juga jarang terdengar di media massa.

Masalah yang paling krusial yakni belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) hingga saat ini. Kendala utama pembahasan, terkait kelembagaan sertifikasi, kadar kewajiban atau sukarela, hingga pembiayaan proses sertifikasi.

Faktanya, secara ekonomi, label halal dalam produk makanan telah menjelma menjadi potensi keuntungan yang sangat besar jika dikelola secara profesional. Bukan hanya sebatas menyatakan makanan halal atau tidak.

Merujuk pada Masterplan Pengembangan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pada tahun 2010, jasa pariwisata telah menyumbang devisa sebesar USD 7,6 milyar dan akan terus meningkat seiring upayapemerintah untuk mendatangkan wisatawan muslim dari kawasan timur tengah.Potensi pariwisata yang sedemikian banyak menjadi modal tambahan, ditunjang keberagaman suku, agama, dan sosial budaya, dapat menjadi aspek lain yang dapat dijual.

Tak hanya wisatawan mancanegara, potensi wisatawan domestik juga tak kalah pentingnya, apalagi sensus Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 menunjukkan bahwa dari 237,64 juta penduduk, sebanyak 207,18 juta atau 87,18 persen adalah penduduk muslim. Belum termasuk India yang memiliki 140 juta penduduk muslim, Pakistan sebanyak 130 juta, Timur Tengah sebanyak 200 juta, Afrika sebanyak 300 juta, Malaysia sebanyak 14 juta, dan Amerika Utara sebanyak 8 juta.

Jika diasumsikan wisatawan dari Negara muslim adalah beragama Islam, maka sekitar 21,81 persen wisatawan yang berkunjung ke Indonesia memerlukan jaminan halal selama di Indonesia. Salah satu syarat untuk menarik wisatawan Timur Tengah itu adalah produk halal. Di sinilah fungsi Pemerintah/MUI untuk memastikan bahwa makanan yang tersedia memiliki label halal dan diproses secara halal pula.

Tak hanya itu, berbagai peristiwa terkait terorisme yang disangkut pautkan dengan kelompok islam radikal, seperti peristiwa 9/11 pada tahun 2001 di New York, serta berbagai aksi terorisme lainnya, menyebabkan penurunan jumlah wisatawan dari negara barat. Hikmahnya, peristiwa ini secara tidak langsung menjadi titik awal perubahan peta tujuan wisata.

Organisasi Pariwisata PBB (UNWTO) menyebutkan pertumbuhan rata-rata pariwisata di negaramuslim melebihi pertumbuhan rata-rata dunia. Negaraanggota Organisasi Kenferensi Islam (OIC) sangat menikmati fenomena ini meski distribusi penyebaran wisatawan tidak merata.

Steiner dalam Tourism in The Muslim World tahun 2010, mengurutkan 10 negara muslim sebagai tujuan wisata utama dunia dengan perkiraan angka wisatawan menurut OIC, yakni Turki (20,3 juta), Malaysia (16,4 juta), Mesir (8,2 juta), Arab Saudi (8 juta), Uni Emirat Arab (7,1 juta), Tunisia (6,4 juta), Maroko (5,8 juta), Indonesia (5 juta), Bahrain (3,9 juta) dan Syria (3,4 juta).

Data Pusdatin Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI pada tahun 2012menunjukkan peningkatan kunjungan wisatawan asing dari negara muslim ke Indonesia.Meski terjadi peningkatan,namun jumlahnya tidak mencolok. Tahun 2006 hanya tercatat 785 ribudan meningkat 2 kali lipat di tahun 2010.

Jumlah wisatawan muslim yang berkunjung ke Indonesia ini sangat timpang dibandingkan negeri Jiran Malaysia.Ini tidak lepas dari upaya dan peran serta pemerintah Malaysia dalam peningkatan jumlah kunjungan tersebut. Joan Henderson, peneliti dari Nanyang Technological Univesity, Singapura menyebutkan, dibandingkan Negara muslim di Asean seperti Brunei, Malaysia, dan Singapura, hanya Indonesia yang menunjukkan minat yang rendah dalam upaya peningkatan pasar pariwisata islami.

Malaysia sendiri melalui Menteri Pariwisata telah melihat pariwisata islami sebagai peluang besar. Langkah yang dilakukan, yakni penguatan kerjasama dengan Jabatan Agama Islam dalam Kantor Perdana Menteri dengan membentukHalal Industry Development Corporation (HDC),komite khusus untuk menangani isu terkait pariwisata islami.

Serangkaian konferensi dan pameran global islamic tourism bersama negara-negara OKI juga terus digencarkan. Belum lagi pengembangan daerahtujuan wisata baru dan penguatan kerjasama institusional, serta penyesuaian kebijakanindustripariwisata dengan prinsip agama Islam.

Faktanya, kebijakan ini telah berhasil menarik investor dari Uni Emirat Arab dengan mendirikan hotel bintang tiga pertama pada tahun 2009 yang dikelola dengan prinsip syariah Islam didukung karyawan dengan kemampuan berbahasa Arab dan berbagai kemudahan bagi wisatawan Timur Tengah.

Malaysia juga membangun Taman Tamadun Islam yang diklaim sebagai “satu-satunya taman budaya Islam” di atas lahan 33 hektar di Terengganu. Dari segi penyediaan makanan, Malaysia sejak Januari 2012 juga mewajibkan semua makanan yang beredar di Malaysia mendapatkan sertifikat halal oleh Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM).

Lain lagi dengan Singapura, saat ini mereka telah menandatangani kerjasama dengan Dewan Kerjasama Negara Teluk (GCC) yang terdiri dari Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman, Saudi Arabia, dan Uni Emirat Arab,untuk memvalidasi standar makanan Singapura sesuai standar Negara-negara GCC. Dengan demikian produkpangan dari Singapura dapat diterima di Negara GCC tanpa kendala. Meskipun muslim di Singapura bukan mayoritas, namun mereka melihat Islam sebagai peluang bisnis yang tidak bisa dianggap enteng.

Peluang ini juga menjadi target pasar pariwisata yang juga diincar oleh negara-negara non-muslim. Misalnya, Korea Utara. Negara ini telah mencantumkan sejumlah masjid dan restoran halal dalam brosur-brosur pariwisata yang mereka tawarkan. Sementara Indonesia, masih saja berkutat dengan pembahasan RUU JPH yang teka kunjung selesai. Belum lagi banyaknya berita campuran bahan non halal di produk makanan mentah, setengah jadi, hingga siap konsumsi. (ak_cipta@yahoo.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline