Lihat ke Halaman Asli

Rindu Hujan

Diperbarui: 15 November 2016   01:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ibu, kapan hujan turun?” kata seorang anak kecil kepada ibunya. Sang ibu hanya terdiam. Ia mencoba tersenyum dengan cukup terpaksa. Saat itu, aku melihatnya dan merenungkan kondisi ini. Sungguh, pertanyaan yang mengharukan bagi kami.

Aku merindukan hujan. Kala orang-orang menikmati panas matahari yang menyengat kulit, aku merindukan hujan. Kala orang-orang menghangatkan diri dari dinginnya salju yang membekukan tubuh, aku tetap merindukan hujan.

Aku merindukan hujan. Jika hujan datang, suara rintik-rintik akan terdengar, lalu turun membasahi tanah yang kelak akan menumbuhkan pohon dan rumput-rumput. Kemudian, hawa sejuk akan menyelimuti tubuh kita, yang rasanya berbeda dengan salju. Seketika itu pula, kita akan merasakan kembali ingatan yang damai, lalu tertidur lelap.

Pernahkah Anda merasakan hadirnya matahari setelah hujan reda pada sore hari? Ketika sinar matahari sore bertemu dengan sisa-sisa dari redanya hujan yang bernafaskan hawa sejuk, pelangi hadir menyelimuti awan. Warna-warni pelangi itu akan menghiasi awan yang kemerah-merahan karena bertemu dengan sinar matahari sore. Tentu, kita semua yang melihat pemandangan tersebut akan mengatakan, “Itu indah! Indah sekali!”

Mengapa Aku merindukan hujan? Ketika Anda sudah tahu ada anak kecil yang menanyakan kapan hujan turun, apa yang lantas Anda pahami? Tanahku yang dulu berlimpah dengan kesuburan, kini sudah kering kerontang karena tidak ada hujan. Rakyatku yang dulu segar bugar, kini sudah lemas sakit karena tidak ada hujan.

Aku mencoba untuk meminta bantuan kepada negeri lain. Kudengar, ada sebuah negeri yang besar dan sangat maju peradabannya, serta sangat memperhatikan prikemanusiaan. Ah, negeri yang sangat maju! Tetapi, ternyata itu hanya omong kosong belaka. Mereka yang mengatakan tentang kemanusiaan ternyata tidak lebih daripada kaum imperialis yang membantai jutaan manusia.

Dasar negeri munafik! Tunggu, kudengar juga ada lagi negeri yang bahagia. Negeri itu dikabarkan sebagai negeri yang para manusianya cinta damai, ramah, dan kaya akan hasil alam dan kebudayaan; negeri itu tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin. Ah,negeri yang sangat hebat! Tetapi, ternyata itu hanya dulu. Kini, negeri itu sedang porak-poranda. Tidak mungkin kedua negeri itu bisa membantu kami, sia-sia.

Itulah yang membuatku hanya berharap kepada turunnya hujan. Tidak ada yang bisa kuharap dari negeri lain selain hanya mengharapkan turunnya hujan. Maka, Aku merindukan hujan. Jika hujan turun, tanah basah kembali seperti dulu. Tanaman akan tumbuh. Jika hujan turun, udara akan sejuk kembali seperti dulu. Debu yang liar beterbangan akan terhapus dengan embun. Kemudian, ketika sinar matahari datang, langit akan menjadi penuh warna. Semua itu indah, bukan?

Maka, sekali lagi, aku merindukan hujan. Jika hujan turun, harapan pun bangkit. Jika hujan turun, keindahan menghadiri kami seolah-olah menuntun kami kepada kebahagiaan. Aku tidak peduli dengan keadaanku yang sudah berbaju lusuh dan kusut ini. Aku tidak peduli lagi dengan semua harta benda dan kuasa yang kumiliki. Yang ku butuhkan hanyalah turunnya hujan yang kubalut setiap hari dengan doa. Oh Tuhan, Aku benar-benar merindukan hujan! Apakah hujan akan turun di negeriku?

Hujan… Datanglah…

Wah, hujan datang! Rakyat bersorak-sorai. Tanah kembali basah, langit kembali indah, udara kembali sejuk, dan tanaman-tanaman akan tumbuh. Mari kita semua bermandikan hujan! Mari kita semua merayakan hujan yang turun ini dengan menari dan bernyanyi di bawah naungan turunnya hujan!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline