Lihat ke Halaman Asli

Rahmad Agus Koto

TERVERIFIKASI

Generalist

Mengeksplorasi Sisi Gelap Sistem Pembayaran Digital

Diperbarui: 16 Juni 2023   21:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pembayaran digital (Freepik)

Sungguh kabar yang menggembirakan ketika ASEAN yang keketuaannya sedang dipegang oleh negara kita memprioritaskan percepatan sistem pembayaran digital, yang tujuan utamanya untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi paska hantaman pandemi Covid-19 dan sekaligus meningkatkan laju integrasi serta konektivitas perekonomian, khususnya di negara-negara ASEAN. Prioritas tersebut selaras dengan program Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 yang disusun oleh Bank Indonesia (BI) dan sinkron dengan hasil Deklarasi Bali G20 2022.

Dalam rangka menindaklanjuti hasil Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-42 dengan tema "ASEAN Matters: Epicenter of Growth" yang dilaksanakan pada 11-12 Mei 2023 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, bank sentral negara-negara ASEAN-pun menjalin kerjasama yang lebih serius dalam menerapkan sistem pembayaran digital berbasis Quick Response Code lintas negara (cross-border QR payment linkage).

Sebagaimana yang sudah mulai jamak diketahui bahwa secara umum keuntungan sistem pembayaran digital sifatnya mudah, praktis, cepat (realtime), hemat biaya, hemat energi, inklusif, seluruh transaksi tercatat secara rapi dan mendetail (transparan), lebih aman dan mencegah terjadinya resiko penularan penyakit melalui uang cash. Dengan demikian, laju transaksi perdagangan mikro maupun makro menjadi naik secara signifikan. Berdasarkan hasil laporan BI pada tahun 2020, sekitar 90% penggunaan sistem QRIS dilakukan oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan masih menurut BI, nilai transaksi QRIS tahun ini semakin meningkat tajam sejak diterapkannya sistem QRIS antar negara-negara ASEAN yang dimulai pada Januari 2023 yang lalu.

UMKM yang sedang menggunakan QRIS (BI/AntaraNews)

Selain berbagai keuntungan yang ditawarkan, sistem ini tentunya juga tidak terlepas dari sisi negatif. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, ada baiknya kita memahami secara mendalam, mengeksplorasi sisi gelap dari pengaplikasian sistem pembayaran digital yang dalam beberapa tahun terakhir ini cenderung meningkat dengan sangat pesat dan sepertinya mustahil bisa dihindari.

  • Bagaimana bila dalam sebuah transaksi jual-beli yang apalagi sangat penting, sinyal internet tiba-tiba mengalami gangguan, kehabisan baterai, smartphone tiba-tiba error, hang, atau lagi naas pas kena jambret? Uang cash sedang tidak ada pula. Wah, malah jadi sangat merepotkan, bukan?
  • Menjadi boros karena terpancing iming-iming trik marketing bila menggunakan pembayaran digital, misalnya membeli satu produk dapat dua, belanja minimal sekian diberi diskon sekian persen, sistem points based rewards, cashback, dan lain-lain. Trik tersebut rentan membuat konsumen terjebak membeli produk atau jasa melebihi keperluannya.
  • Masih berhubungan dengan poin sebelumnya, wujud sistem pembayaran digital ini sifatnya maya, secara fisik tidak bisa disentuh, tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba. Hal ini mengarah kepada fenomena yang berhubungan dengan mental accounting, yang menimbulkan persepsi bahwa transaksi uang digital terasa kurang nyata, sehingga alam bawah sadar (subconcious mind) mendorong terciptanya perilaku belanja yang berlebihan, impulsif, bahkan hingga kompulsif.
  • Cakupan area penggunaan yang masih terbatas karena sistem pembayaran digital sangat bergantung kepada sinyal internet yang reliable. Sampai saat ini keberadaan infrastruktur digital masih didominasi area perkotaan, belum menyebar luas hingga ke area pedesaan di seluruh pelosok negeri. Selain itu, juga sangat bergantung kepada penetrasi smartphone.
  • Privasi. Isu ini mungkin sudah ada sejak internet diciptakan, dan semakin membesar sejak lahirnya medsos. Sistem pembayaran digital mutlak mensyaratkan adanya data-data pribadi seperti KTP atau paspor, mengharuskan adanya transaksi yang tercatat secara rapi dan mendetail. Data-data yang sangat sensitif ini sangat rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak atau oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
  • Keamanan akun digital. Bagaimanapun canggihnya sistem kemananan teknologi keuangan digital, tetap saja ada celah-celah yang bisa dieksploitasi oleh para penjahat dunia maya, walaupun kemungkinannya sangat kecil.
  • Undang-undang perlindungan konsumen yang masih kurang memadai. Hal ini bisa kita lihat dari masih maraknya keluhan-keluhan terkait transaksi perdagangan digital di berbagai media informasi. Misalnya terkait macetnya alur pembayaran, terkait proses refund dan terkait kebocoran data pribadi.

Ilustrasi pembayaran digital (Freepik)

Literasi teknologi digital masyarakat umum sejauh ini masih relatif cukup rendah. Selain terkait cara penggunaan gadget dan aplikasi, para pengguna itu sendiri ironisnya merupakan sumber utama penyebab terjadinya pembobolan sistem keamanan, sehingga aspek ini sangat penting, sangat menentukan cepat tidaknya penerapan sistem keuangan digital. Lembaga-lembaga otoritas resmi pastinya sudah menelaah sisi gelap ini secara seksama.

Sebagai pengguna, kita tentunya sangat berharap supaya otoritas-otoritas resmi terus meningkatkan sistem keamanan, membuat undang-undang perlindungan konsumen yang up to date dan melaksanakan program sosialisasi literasi digital yang lebih sistemik dan lebih progresif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline