Pagi hari minggu yang lalu saya menyaksikan langsung sebuah peristiwa yang cukup menggugah hati. Kejadiannya di Pajak Sukaramai Medan waktu saya menemani istri berbelanja.
Dua orang Omak-omak sedang bertengkar memperebutkan lapak jualan di pinggir jalan besar yang ukurannya sangat kecil, hanya sekitar 0,8x1,5 meter.
"Kau yang telat datang. Mati ajalah kau!", kata Omak-omak berjilbab merah. Omak-omak yang berjilbab biru membalasnya dengan, "Kau ajalah yang mati!"
Hahahaiii... Ini Medan Bung!
Tapi uniknya, besar suara mereka normal, tidak sampai menjerit-jerit gitu. Nampaknya Omak berjilbab biru akhirnya mengalah.
Moral story. Halah!
Begitulah salah satu contoh kecil mengenai betapa beratnya kehidupan perekonomian masa sekarang ini. Pandemi benar-benar meluluhlantakkan perekonomian rakyat dari kelas menengah ke bawah. Untuk memenuhi kebutuhan perutnya saja sudah sangat susah. Sementara itu, yang bikin jiwa makin meradang, di sisi lain malah ada banyak orang yang justru mereguk keuntungan yang sangat melimpah, keuntungan yang tidak didapatkannya sebelum pandemi datang menyerang.
Pandemi ini semakin memperjelas betapa dalam dan besarnya jurang menganga yang memisahkan antara si kaya dengan si miskin.
Kita-kita yang tidak sampai sesulit Omak-omak itu dalam mencari nafkah, sudah semestinyalah mengucap syukur yang sebesar-besarnya.
Para alim ulama kata, salah satu wujud utama dari rasa syukur atas nikmat yang telah kita terima, yaitu banyak memberikan bantuan atau sedekah kepada yang sedang membutuhkan, terutama kepada saudara-saudara atau teman-teman yang terdekat.
Selain itu, klo bisa janganlah terlalu mengumbar kenikmatan hidup yang diperoleh ke dunia medsos.