Lihat ke Halaman Asli

Rahmad Agus Koto

TERVERIFIKASI

Generalist

Tanggapan untuk Artikel "Miss World dan Kecemburuan Nilai"

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dear Readers...langsung aja ya...

Mengapa opini Rinaldi Abrakadabra dalam artikelnya "Miss World dan Kecemburuan Nilai" saya simpulkan sebagai opini dari sudut pandang yang sempit sekali?

"Kenapa muslim fanatik menentang Miss World?"


Fanatik, secara makna hakiki tak ada yang salah dengan istilah ini. KBBI: teramat kuat kepercayaan (keyakinan) thd ajaran (politik, agama, dsb). Berdasarkan defenisi ini, khusus untuk agama sudah seharusnya untuk fanatik.

Namun dalam pengertian umum, sulit dipungkiri bahwa istilah ini mengalami perubahan makna menjadi makna yang cenderung negatif, dimaknai sebagai sesuatu yang berlebih-lebihan, dan sesuatu yang berlebih-lebihan tentunya tidak baik.

Rin telah memvonis muslim penolak even Miss World sebagai penganut fanatis, dalam kalimat pertama pula sehingga terasa benar penekanannya, sekaligus prasangkanya, semakin terlihat gamblang dalam penjabarannya.

"Mereka juga berpandangan bahwa laki-laki tidak bisa mendekati atau menyentuh perempuan yang bukan muhrim sembarangan, meskipun cuma sentuhan wajar seperti salaman atau berpelukan"


Penggunaan kata "mereka" seakan-akan ada Islam lain yang menganggap wajar atau memperbolehkan menyentuh yang bukan muhrim (salaman dan berpelukan). Sejatinya Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah, seluruh mahzab memang tidak memperbolehkannya. Lain hal jika memaknai Islam berdasarkan sesuai atau tidak dengan nafsunya yang tampak jelas dari pernyataannya ini, "Hal itu sesuatu yang natural dalam bersosialisasi"

"Di sinilah, pada muslim konservatif, terjadi ‘bentrok pikiran'. Melihat dinamika tata-nilai modern, mereka "pingin kayak begitu", tapi tidak bisa, karena dibatasi oleh prinsip-prinsip dasar yang mereka yakini. Akhirnya timbul sikap "denial", sikap menyatakan "tidak suka" terhadap kehidupan modern yang demikian untuk menutupi ketertarikan alamiah tersebut."


See... sifat dasar Rin yang berdasarkan nafsunya sendiri diaplikasikannya dalam menyikapi pemikiran "muslim konservatif". Diperparah dengan kalimat-kalimat berikutnya,

"Sebenarnya mereka bukan tidak suka, tetapi iri. Mereka merasa "capek-capek" secara ketat mengamalkan ajaran agama, sementara orang-orang dengan enaknya menikmati hidup dengan bebas dan berwarna. Sekali lagi, mereka cuma iri."

"Rasa iri tersebut terpendam, dan hanya "meluap" pada momentum-momentum tertentu. Misalnya ajang Miss World."

"Kecemburuan", itu pangkalnya."


Karakter dasar tersebut, prasangka dan bersandar pada nafsu, juga digunakannya untuk menilai orang-orang yang anti kapitalisme.

"Sementara kelompok muslim yang agak moderat, mampu mensintesakan antara modernitas dengan dogma agama."

"Saya tidak memandang sintesa tersebut secara positif. Saya justru memandangnya secara sinis."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline