Hari kedua program Kompasiana TV via Kompas TV yang sangat inovatif dari Tim Pengelola Kompasiana ini, berjalan lancar dan sukses dari sudut pandang waktunya yang sempit (60 menit), dengan enam kompasianers dan dengan narasumber yang sangat berkompeten. Program ini ditayangkan secara langsung pukul 19.00-20.00 kemarin (20/01/2015), dipandu oleh Cindy Sistyarani.
Kompasianers yang dilibatkan dalam diskusi dengan topik utama BPJS dan Kartu-kartu Sakti (Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKP)) ini yaitu Thamrin Dahlan, Amaluddin, Oni, Jamhali, Yunanto dan saya sendiri. Sedangkan narasumbernya Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa.
Tidak begitu banyak yang bisa dibahas dalam waktu yang sesingkat itu (sekitar 30 menit, sisanya membahas beberapa artikel kompasianers dan iklan), namun cukup sukses memberikan informasi aktual terkait topik.
- Secara umum Mensos menyebutkan bahwa Kartu-kartu Sakti itu adalah bagian dari BPJS atau untuk mengupgrade/memperbaiki BPJS yang menurut beliau belum berjalan dengan baik dikarenakan masih relatif barunya program tersebut (sekitar satu tahun). Misalnya menghapus kata miskin yang berpotensi menjadi beban psikologis penerima kartu.
- Pemerintah sedang "pontang panting" menata database yang berhak menerima kartu-kartu itu (saat ini database yang mereka miliki, data tahun 2011), menata mekanisme pemberian kartu dan sosialisasinya.
- Belum adanya dana untuk merealisasikan manfaat Kartu-kartu Sakti untuk 86,4 juta orang yang ditargetkan. Yang sudah ditangani baru 4,5 juta orang. Hal ini sedang dibahas dengan DPR, beliau berharap bisa selesai di bulan Februari ini.
- Dasar hukum Kartu Sakti menurut Mensos adalah Inpres. Padahal menurut Yusril IM Inpres itu bukanlah dasar hukum untuk kebijakan tersebut (JPNN). Dari sini dapat diketahui bahwa hingga kini pemerintah belum menuntaskan persoalan hukum kartu-kartu ini.
Dari rangkuman ini apa yang saya pertanyakan di dalam artikel ini, "Pak Jokowi, Mohon Jelaskan Soal Kartu-kartu Itu" ternyata hingga kini belum tuntas.
Disini saya juga hendak menyantumkan beberapa pertanyaan/saran/tanggapan teman-teman terkait BPJS yang saya kumpulkan dari status saya di akun Facebook, yang tidak sempat dibahas dalam diskusi itu. Semoga informasi ini sampai pada pihak-pihak yang terkait.
- "Seandainya ada RS swasta yang menarik bayaran pada pasien BPJS yang dioperasi sampai sekian juta rupiah,pakai kuitansi dan pasiennya komplain kepada dokter PPK I (curhat lah tepatnya), kemana harusnya pasien tersebut mengadu?"
- Paling nyata: menegakkan bahwa pemerintah yg seharusnya menjadi regulator hubungan segitiga Peserta-Pemberi layanan-BPJS. Jangan paksa - atau biarkan - BPJS yg mengambil alih
- "Bagaimana sebenarnya pencairan dana kapitasi d puskesmas....apakah langsung bisa dcairkan 1 bulan kemudian...karena dlm prakteknya selama ini baru bisa dcairkan per 3 bulan sekali(kebijakan kadinkes)."
- Saya sangat keberatan dengan diwajibkannya perusahaan swasta menggunakan bpjs...sangat merugikan karena sebelumnya sudah ada asuransi..bpjs itu ribet prosedurnya sarana dan prasarana belum siap...Bagaimana strategi pemerintah pusat untuk mengintegrasikan Jamkesda ke sistem BPJS. Ini penting karena data Jamkesda relatif lebih akurat daripada data yang dimiliki BPJS.
- Ada permasalahan mendasar mengapa perlu dipikirkan cara untuk memperbesar peran Pemda karena adanya keterbatasan anggaran pemerintah pusat untuk membiayai Penerima Bantuan Iuran khusus bagi yang tidak mampu. Premi yang disubsidi pemerintah hanya sebesar 19.225. Itu gak cukup lho untuk mengcover penyakit kritis. Apakah ada rencana untuk merevisi UU SJSN dan UU BPJS karena kedua undang2 tersebut kurang mengakomodasi peran pemerintah daerah. Kenapa ada pembatasan besaran premi yang disubsidi. Mengapa revisi menjadi penting sebab agar pemda bisa menanggung lebih besar.
- Wacana untuk merevisi UU BPJS dan UU SJSN. Revisi ini penting agar bisa ada skema pembagian penanggung premi yang berjenjang. Harus ada peningkatan batasan iuran yang bisa disubsidi, mungkin dengan prinsip co-sharing antara pemerintah pusat dan pemda.
Apakah Indonesia bisa menerapkan mekanisme social health insurance model German dengan baik. SHI ini berprinsip ada prinsip solidaritas antara negara, pemberi upah, dan partisipan. Nah, ini perlu dipikirkan juga apakah ada rencana penelitian ulang ttg social health insurance.
Salam Hangat Sahabat Kompasianers...
[-Rahmad Agus Koto-]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H