Lihat ke Halaman Asli

Lohmenz Neinjelen

Bola Itu Bundar, Bukan Peang

Poros Ketiga Hanya Sebuah Wacana Politik Kocak Lainnya?

Diperbarui: 21 Maret 2018   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: kompas.com

Wacana poros ketiga saat ini sedang berusaha ditawarkan, dan entah apa keuntungan yang akan diperoleh dari wacana politik yang terkesan kocak ini.

Batas akhir pendaftaran pasangan capres untuk Pilpres 2019, Agustus nanti sekitar 5 bulan lagi, dan sampai saat ini bakal capres 2019 yang sudah diumumkan secara resmi oleh sebuah parpol baru Presiden Jokowi saja.

Manuver politik PDIP yang mengumumkan bakal capres yang diusungnya tidak menjelang batas akhir pendaftaran pasangan capres tadi menuai sentimen politik positif bagi Jokowi dan PDIP, sementara bakal capres kubu seberang, yaitu Prabowo Subianto sebaliknya.

Sentimen politik positif ini makin tinggi saja dengan dihembuskannya wacana politik kocak ala Srimulat, yaitu "Prabowo Cawapres Jokowi" yang terkesan melecehkan, meski diimbuhi dengan kata-kata puitis seperti pasangan Jokowi-Prabowo akan menghadirkan kedamaian, persatuan, dan kesatuan serta tetek bengek lainnya.

Wacana politik kocak ala Srimulat tadi akan hilang dengan sendirinya jika Prabowo sudah diumumkan sebagai capres oleh koalisi parpol yang memenuhi syarat presidential threshold. Namun sampai saat ini koalisi tersebut belum jelas atau masih di awang-awang, dan semakin tidak jelas dengan munculnya wacana poros ketiga.

Diasumsikan poros pertama adalah koalisi parpol pendukung Jokowi, poros kedua Partai Gerindra dan PKS, sedangkan poros ketiga Partai Demokrat, PKB dan PAN. Strategi dan taktik politik apa yang ditawarkan dari wacana poros ketiga ini?

Menurut Presiden PKS Sohibul Iman, demokrasi di Indonesia akan semakin sehat, dan ia pun menyamakannya dengan Pilkada DKI 2017.

"Dan ini mengulang koalisi DKI, asyik kan? Asyik menurut saya. Ada PKS-Gerindra, ada Istana, kemudian ada Cikeas, mungkin kurang PPP karena sudah ke sana. Kenapa tidak dipikirkan seperti itu?" katanya di sini.

Apakah ukuran semakin sehat sebuah demokrasi karena ada tiga pasangan capres? Atau wacana poros ketiga ini sekadar wacana "teletubbies romantis melankolis"?

Jangan-jangan sebuah bentuk ungkapan frustrasi karena elektabilitas Presiden Jokowi jauh di atas Prabowo, apalagi figur tokoh lainnya? Atau masih bingung bagaimana caranya menghambat langkah Jokowi untuk kembali menjabat presiden periode berikutnya, maka ide yang ada dan ditawarkan adalah poros ketiga?

Terlepas ada dua atau tiga poros nantinya, kelucuan yang berkait dengan Pilpres 2019 diyakini oleh sebagian pihak belum berhenti atau masih ada lagi setelah wacana politik kocak ala Srimulat "Prabowo Cawapres Jokowi" dan kini "Poros Ketiga".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline