Lihat ke Halaman Asli

59%-nya Yakin, Warga DKI Tidak Akan Terbelah oleh Isu SARA

Diperbarui: 10 Mei 2016   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar: rmoljakartadotcom"][/caption]Dan hanya sekitar 29% saja yang yakin warga DKI bisa terbelah oleh isu SARA. Sedangkan 10% responden bersikap ragu-ragu.

Demikian hasil survey Indostrategi terkait potensi konflik sosial yang mungkin muncul jelang Pilgub DKI Jakarta 2017 yang dipaparkan oleh Direktur Eksekutif Indostrategi Andar Nubowo dalam jumpa pers di Hotel Alia, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (10/5/2016). Survei itu sendiri dilakukan pada 1-12 April 2016 dengan melibatkan 1.200 responden.

Saya sendiri juga memang meyakini, masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat yang tinggal di DKI sudah jauh lebih dewasa dalam menyikapi kondisi perpolitikan daerahnya maupun nasional. Pengalaman masa lalu dan pemberitaan-pemberitaan di berbagai media pemberitaan online dalam negeri maupun luar negeri, terutama pemberitaan tentang dampak negatif akibat konflik SARA, telah semakin menumbuhkan lagi perasaan bersaudara antar sesama warga kota, tanpa terlalu mengedepankan lagi perasaan-perasaan sentimen SARA. 

Sebanyak 59% yang meyakini bahwa warga DKI tidak akan terbelah oleh isu SARA tersebut secara implisit setidaknya telah berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak turut terpancing oleh isu SARA yang berpotensi membelah dan menyebabkan munculnya konflik diantara sesama warga Jakarta. Sedang 29% yang merasa yakin bahwa warga jakarta akan terbelah karena isu SARA juga mendasarkan keyakinannya pada adanya gejala-gejala yang mengarah ke keterbelahannya warga DKI akibat adanya pihak-pihak yang dianggapnya berpotensi termakan isu SARA. 

Sekarang, mari bergeser ke soal apa sih isu SARA itu? Gampangnya, isu SARA adalah segala macam STIGMA NEGATIF yang dilekatkan kepada seseorang atau sekelompok berdasarkan Sukunya, Agamanya, Ras dan Alirannya. Perhatikan yang berhuruf tebal diatas. STIGMA NEGATIF!

Apa pun penilaian negatif kita terhadap seseorang atau sekelompok orang yang didasarkan pada Suku, Agama, Ras dan Alirannya bisa dipandang sebagai penistaan atau penghinaan pada Suku, Agama, Ras dan Alirannya orang atau sekelompok orang yang kita nilai negatif Itu. Atau dengan kata lain, kita akan dipandang mengeneralisasikan penilaian negatif kita pada Suku, Agama, Ras dan Aliran dari orang atau sekelompok orang yang kita nilai negatif tersebut. 

Dan tentu saja, pengeneralisasian semacam itu akan berpotensi memicu konflik antar Suku, Agama, Ras dan Aliran. Dari yang sebenarnya hanya merupakan konflik antar pribadi atau perseorangan, bisa berubah menjadi konflik antar kelompok Suku, Agama, Ras dan Aliran. Dan tentu saja, kita semua tidak berharap konflik seperti itu terjadi di Indonesia dan dimana pun di daerah-daerah Indonesia, toh?

Jadi mari, tahan lah diri kita masing dari menstigmasi siapa pun berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Alirannya. Agar rasa persatuan dan rasa persahabatan dan persaudaraan antar Suku, Agama, Ras dan Aliran di Indonesia dan di Jakarta khususnya tidak terlukai atau terbelah. Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh!

Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline