[caption caption="Gambar: merdekadotcom"][/caption]Cita-citanya tentang Jakarta hanya satu. Mengembalikan Jakarta sebagai Kota Pantai. Iya, keduanya meliki kesamaan visi tentang Jalarta Kota Pantai.
Di jaman dahulu, dari sejak 15 abad lalu, pintu masuk utama Jakarta adalah pantai utaranya. Bandar atau pelabuhan Sunda Kelapa dan semua rona kehidupan nelayan di pesisir utara adalah tampak depan atau etalasenya Jayakarta, Batavia atau yang kini kita sebut sebagai Jakarta. Namun, sejak pemerintahan Hindia Belanda kalah dalam perang dunia II dan batavia jatuh ditangan Tentara Jepang hingga pasca kemerdekaan aktivitas perdagangan di bandar Sunda Kelapa hancur. Kehidupan nelayan di pesisir utara kota Batavia (Jakarta) berubah. Aktivitas pelayaran laut tak seramai masa-masa sebelumnya.
Baru pada tahun 1960an Presiden Soekarno beekesempatan untuk memperhatikan kembali keadaan Bandar Jakarta yang selama 30 tahun porak poranda akibat perang. Visi Soekarno ketika itu adalah mengembalikan wajah (tampak depan) Jakarta sebagai kota dagang dan pelabuhan internasional di asia tenggara.
Kala itu, di tahun 1960an, pesisir utara kota Jakarta boleh dikata sudah hancur keadaannya. Kehidupan nelayan Jakarta sangat memprihatikan. Pantai Jakarta penuh rawa, sampah menumpuk dimana-mana, air di pesisir laut sudah tidak memungkinkan lagi dipenuhi ikan yang banyak. Daerah ini kadang dianggap oleh orang-orang Jakarta daratan tengah sebagai tempat yang angker. Tempat jin buang anak, katanya. Itu hanya untuk mengungkapkan kondisi pantai utara kota yang pada awalnya adalah tampak muka kota Jakarta berubah menjafi sepeeti tampak belakangnya kota Jakarta yang sudah terlupakan. Tampak depan Jakarta berpindah ke pusat kota.
Untuk meealisasikan visi tentang Jakarta Kota Pantai dan Kota Pelabuhan Internasional, pada tahun 1960 an Presiden Soekarno memerintahkan Gubernur Jakarta kala itu untuk merevitalisasi kawasan Pluit untuk dijadikan kawasan tangkapan air. Disaat yang sama muncul gagasan untuk memake-up wajah bagian utara Jakarta dengan hotel-hotel, taman-taman dan tempat rekreasi.
Dan pada tahun 1962an dimulailah pembangunan kawasan rekreasi dan taman yang kemudian kita kenal sebagai Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) dengan mereklamasi sebagian perairan utaraJakarta. Dengan begitu, inilah proyek reklamasi pertama yang dilaksanakan di (pesisir utara) kota Jakarta. Proyek reklamasi Ancol ini mengambil pasir laur untuk urugannya dan sebagian kecilnya diambil dari bibir pantai sekitarnya.
Keberhasilan Ciputra membuat TIJA menginspirasi Soeharto untuk memperluas areal revitalisasi kawasan pantai utara Jakarta. Pada tahun 1984, melalui Gubernur DKI saat itu memerintahkan dan menyetujui Dharmala Grup untuk melaksanakan proyek reklamasi kedua di pantai utara Jakarta, yaitu proyek reklamasi Pantai Mutiara. Dan untuk semakin mempercantik wajah daerah pesisir utara Jakarta mengijinkan Ciputra untuk mengkonversi sebagian kawasan hutan bakau di sekitar TIJA menjadi kawasan perumahan mewah dan perkantoran. Tanah urugannya diambil Palm Beach Cilincing. Kawasan royek konversi hutan bakau dan reklamasi ini dikenal Pantai Indah Kapuk (PIK).
Karena proyek-proyek TIJA, Pantai Mutiata dan PIK tersebut dianggap mampu mempercantik tampak muka Jakarta bagian utara dan semakin mendekatkan keadaan pesisir Jakarta sebagai etalase Kota Pantai yang modern, maka Presiden Soeharto semakin bersemangat untuk membenahi dan mempercantik keseluruhan kawasan pesisir utara Jakarta dari barat ke timur. Dan inilah yang kemudian menjadi dasar dikeluarkannya Kepres No. 52 Tahun 1995 yang menjadi dasar utama dibuatnya perencanaan pembangunan 17 pulau-pulau buatan hasil reklamasi di sepanjang pesisir utara Jakarta, yang hingga akhir bulan lalu membuat M. Sanusi dan Ariesman Widjaya dicokok KPK.
Sebelum saya akhiri tulisan singkat ini, perlu saya tegaskan kembali bahwa rencana pembenahan kembali Pelabuhan Sunda Kelapa,, pembangunan pulau-pulau buatan, beserta pembangunan tanggul laut raksasa adalah didasari oleh visi mengembalikan Jakarta sebagai Kota Pantai dan Kota Pelabuhan Internasional seperti yang telah berlangsung di masa-masa sebelumnya sejak 15 abad lalu, dan bukan hanya dalam rangka mempertahankan kualitas ekosistem pesisir utara dan pantai Jakarta yang rusak akibat banjir rob dan banjir darat saja.
Selesai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H