Sejak merdeka hingga hari ini, tidak ada Kementerian Kebudayaan agar bisa serius dan fokus mengawal kerja kebudayaan. Kebudayaan sangat penting untuk membangun karakter, membangun jiwa yang merdeka setelah bertahun-tahun didera perbudakan akibat penjajahan, dihina dan direndahkan sebagai bangsa yang kalah sebagaimana ungkapan "Anjing dan Pribumi dilarang masuk" sehingga bermental minder alias rendah diri di antara bangsa-bangsa bahkan memandang ras kulit putih terutama Eropa sebagai bangsa yang superior dan unggul. Tetapi dengan meniru perilaku penjajah, tindakan rasis ini pun bisa berlaku dalam memandang suku lain yang dianggap lebih rendah sebagaimana bahkan ungkapan seorang Menteri di Kabinet Indonesia Maju yang mengancam akan memindahkan ASN yang tidak becus ke Papua.
Kita ingat Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan strata sosial berdasarkan ras atau bangsa-bangsa: warga kelas utama adalah Belanda (Eropa), warga kelas kedua adalah Bangsa-Bangsa Timur seperti Arab, Jepang dan China dan warga kelas tiga adalah yang berjumlah paling banyak yang disebut pribumi, yaitu suku-suku yang telah lama menempati Nusantara. Strata sosial yang diskriminatif dan hanya memperkaya Asing: penjajah kolonial dan antek-anteknya itu berhasil didobrak dan dihancurkan melalui perjuangan nasional yang menuntut kemerdekaan pada tahun 1945, dan membangunkan Negara baru bernama Republik Indonesia.
Tugas Kebudayaan berikutnya tentu saja adalah membangkitkan bangsa yang kalah itu sebagai pemenang yang sesungguhnya di dalam negara yang baru dimenangkan atau dimerdekakan itu secara jiwa agar memang menjadi merdeka lahir dan batin seutuhnya.
Peter Carey menutup buku yang ditulis bersama Farish A Noor: "Ras, Kuasa, Dan Kekerasan Kolonial Di Hindia Belanda 1808-1830" (Terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, Cetakan Pertama, Agustus 2022) menulis:
"Rezim apartheid dalam bentuk lembaga politik bisa saja dibongkar, namun dunia rasis yang menyokong rezim tersebut terus langgeng lama setelah prokonsul terakhir mengucapkan salam terakhirnya. Inilah mengapa dekolonisasi adalah sebuah proses yang sangat pelik. Dalam jabatannya sebagai Presiden Indonesia yang pertama, Sukarno (1901-70, menjabat 1945-66) tidak lelah-lelahnya mengingatkan orang Indonesia, bahwa dekolonisasi fisik hanyalah setengah perjuangan. Mendekolonisasi akal budi dan pikiran seseorang juga sama -- atau bahkan lebih -- pentingnya."
Dari sini, bisa disimpulkan betapa pentingnya satu lembaga setingkat kementerian untuk memastikan kerja kebudayaan berjalan dan terkontrol langsung oleh Presiden Republik Indonesia sehingga turut terbahas, menjadi perhatian bersama dalam rapat-rapat kabinet. Prabowo Subianto, dalam Debat Capres pamungkas, memandang bahwa "Budaya adalah sangat penting; budaya adalah karakter bangsa. Tanpa kita membanggakan, menghormati, melestarikan budaya kita sendiri, kita ilang jati diri kita sebagai bangsa." Ia pun setuju dengan Capres Anies Rasyid Baswedan tentang perlunya ". .. dibentuk ... Kementerian Kebudayaan."
Tugas utama dan mendasar Kementerian Kebudayaan selain membangun mental tentunya adalah menjadi pelindung kebudayaan rakyat dan pembendung imperialisme budaya serta memajukan Kebudayaan Nasional sebagaimana Els Bogaerts, dalam esai 'Kemana arah kebudajaan kita?' Menggagas kembali kebudajaan di Indonesia pada masa dekolonisasi, mencatat: "Seperti di sebagian besar negara yang sedang mengalami dekolonisasi, di Indonesia 'negara-bangsa dipandang sebagai pelindung kebudayaan dan pembendung imperialisme budaya' (Betts 2004;46; baca juga Jennifer Lindsay & Maya H.T. Liem (penyunting), Ahli waris Budaya Dunia menjadi Indonesia 1950-1965, Pustaka Larasan, Denpasar, 2011;256).
Jadi, jelas pentingnya Kementerian Kebudayaan; terlebih dalam kerangka membangun generasi unggul menuju Indonesia Emas 2045. Semoga dalam kasak-kusuk dan otak-atik mengisi Kabinet, pentingnya dibentuk Kementerian Kebudayaan ini tidak hilang dari benak Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih dalam Pemilihan Presiden 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H