Lihat ke Halaman Asli

AJ Susmana

Penulis

Menggugat Jokowi

Diperbarui: 22 Maret 2024   16:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gugatan dan kecaman terhadap Presiden Jokowi terus mengalir sejak munculnya isu Jabatan Presiden Tiga Periode, Kecurangan Pemilu 2024, hingga penganugerahan Jenderal Kehormatan untuk Prabowo Subianto. Gugatan ini dalam benang merahnya bisa disimpulkan berkutat pada kelanjutan kepemimpinan nasional pasca berakhirnya jabatan Presiden Jokowi 2024. Secara demokratis melalui pemilihan umum yaitu pemilihan presiden, hampir dipastikan Prabowo menjadi pelanjut Jokowi. Tapi, hasil pemilu yang memenangkan Prabowo hampir 60 % pun  dituduh penuh kecurangan secara terstruktur, sistematis dan massif. 

Walau begitu, tuduhan kecurangan ini tak yakin bisa diselesaikan secara jujur dan adil oleh lembaga-lembaga sengketa Pemilu seperti Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi.  Para penggugat Jokowi pun berusaha membawa penyelidikan kecurangan itu harus dibongkar secara politik dengan mendorong penggunaan Hak Angket DPR atau bahkan pembentukan Pansus. Sejauh itu, masih dalam lembaga-lembaga demokrasi, tentu wajar-wajar saja. Berdemokrasi itu ya begitulah: memaksimalkan segala potensi yang mungkin baik di  yudikatif, eksekutif, parlemen maupun ekstra parlemen. Di sini, kesabaran berdemokrasi dikedepankan.

Dalam kerangka ini terlihat juga, model gerakan 1998 yang seakan hendak diduplikat oleh gerakan 2024 yang kecewa pada Jokowi. Walau Soeharto menang lagi dalam Pemilihan Presiden, tapi karena gerakan menentang terus bergerak, dalam waktu 3 bulan, Soeharto pun tumbang. Jokowi bagi para penggugat dianggap sebagai pengkhianat Reformasi 1998.

Reformasi 1998 yang menggaungkan anti Korupsi, anti Kolusi dan Anti Nepotisme mati di tangan Malin Kundang reformasi: Jokowi; yang dianggap sebagai dalang nepotisme dengan meloloskan Gibran puteranya menjadi calon wakil Presiden dan mendukung Prabowo Subianto, sebagai Calon Presiden dan masih ditambah dengan usaha-usaha yang dianggap curang untuk memenangkan Prabowo-Gibran. Dan kita sudah melihat bahwa Prabowo-Gibran menang telak hampir 60 persen.

Kini para aktivis dengan berbagai cara dan momentum berusaha mendelegitimasi Presiden Jokowi dan hasil-hasil Pemilu 2024. Tujuannya jelas yaitu menggagalkan Prabowo dan Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang sah berdasarkan hasil Pemilihan Presiden 2024, yang tinggal dalam hitungan hari akan mendapatkan hasil yang definitif dan ditetapkan KPU.

Apakah gerakan pendongkelan Presiden Jokowi dan selanjutnya (Prabowo-Gibran) akan berhasil?

Menyamakan Presiden Jokowi dengan Presiden Soeharto dalam kerangka penggulingan dengan isu kesejahteraan rakyat seperti turunkan harga sembako, demokrasi, HAM, korupsi, kolusi dan nepotisme tentu tidaklah tepat. 

Jokowi sangat jauh bedanya dengan Soeharto. Soeharto telah berkuasa hampir tiga dasawarsa dan jelas Pemilu selama Orde Baru berkuasa direkayasa sehingga wajar bila Pemilu Orde Baru diselenggarakan secara curang yang terstruktur, sistematis dan massif. Peluang itu ada pada Orde Baru yang anti demokrasi (dengan sebelumnya menyingkirkan secara keji musuh politik utama dari golongan komunis dan nasionalis progresif pendukung Sukarno).

Selain itu Pers dibatasi dan tidak ada pemantau atau pengawas Pemilu baik dari dalam ataupun luar negeri.  Dari tiga segi ini saja, tidak bisa diukurkan pada Jokowi. Pada pemilu di bawah Jokowi, masih ada demokrasi, pers dan juga lembaga pemantau pemilu yang mengawasi.

Dari segi Gerakan, Presiden Soeharto telah menciptakan gerakan perlawanan yang panjang sejak berkuasa pada tahun 1965 sebagai seorang tiran yang kekuasaanya dibangun di atas pembantaian rakyatnya sendiri yang tidak bersalah; dalam pembangunan, juga menciptakan jarak dengan rakyat melalui penggusuran seperti Waduk Kedung Ombo di pertengahan  tahun 1980-an yang justru menciptakan gerakan solidaritas  kaum intelektual terutama mahasiswa, yang akan terus aktif hingga puncak pendelegitimasian Soeharto di Mei 1998.

Dalam Pemilu sendiri menciptakan  gerakan golongan putih yang tidak percaya pada Pemilu Orde Baru sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 1971 seperti yang dipimpin Soe Hok Djin alias Arief Budiman.  Jokowi jauh dari semua itu. Justru untuk mengurangi beban masa lalu yang penuh pelanggaran HAM di masa Orde Baru itu Jokowi telah mendahulukan jalur penyelesaian non yudisial dengan membuat Inpres No  2 Tahun 2023 tanpa menolak jalur Yudisial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline