Lihat ke Halaman Asli

AJ Susmana

Penulis

Ketika Dinasti Ming Berkuasa

Diperbarui: 10 Maret 2024   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sewaktu  Jenderal  Tsyu Yuan Tsyang  berhasil mengusir penjajah  Mongol, ia pun membangunkan dinasti baru, yaitu Ming (1368-1644 M). Ming adalah dinasti pribumi.  Karena itu selama berkuasa, Dinasti Ming ini berusaha  memperkuat karakter pribumi yang selama ini disingkirkan dan ditindas Bangsa Mongol yang  telah berkuasa sekitar 160 tahun.

Ini adalah pekerjaan atau proyek kebudayaan Ming yang pada intinya adalah melakukan pribumisasi di segala bidang antara lain:

  • Membangun hegemoni konfusianisme yang telah mengakar dalam kehidupan pribumi (Han). Dinasti Yuan (Mongol) selama itu lebih mengedepankan Buddhisme. Pada era Ming,  menguasai ajaran Kong Hu Cu menjadi syarat mutlak untuk menjadi pegawai negeri.
  • Tindak-lanjut dari ini adalah mengusir pengaruh agama asing seperti Islam dan Kristen yang selama Mongol berkuasa mendapatkan keistimewaan. A. Heuken SJ, misalnya mencatat: "Pada tahun 1333 terdapat tiga Gereja Nestorian di Kota Yangchow. Waktu Wangsa Mongol diusir oleh Wangsa Ming, orang Kristen dianiaya sebagai sekutu Mongol dan rupanya habislah riwayat umat Kristen ini, yang selama tujuh ratus tahun mewartakan injil di Tiongkok (635-1370), tanpa benar-benar berakar di budaya Tionghoa." Nasib yang sama juga bagi umat muslim, Ross E. Dunn, mencatat dalam bukunya Petualangan Ibnu Battuta bahwa selama Mongol berkuasa " ... seorang Muslim dapat bepergian melalui jalan-jalan dan parit-parit utama di Cina, menemukan kelompok-kelompok  kecil sesama penganut agama di kota yang selalu bersedia memberikan penyambutan ramah dan mendengarkan berita-berita dari Barat. Tetapi setelah tahun 1368, kebangkitan kembali kekuasaan Cina di bawah Dinasti Ming telah membawa suatu reaksi pribumi yang keras terhadap pengaruh-pengaruh asing. Permukiman-permukiman  muslim asing dengan cepat menghilang." Perlu dicatat juga, menurut sejarawan Iran, Rashidu'd Din Fadlu'ilah, dari 12 Gubernur, 8 di antaranya adalah muslim; di daerah yang tersisa, muslim juga menjabat sebagai wakil Gubernur. (baca juga:  Xu Xin, Orang-Orang China Yang Mempengaruhi Dunia Islam, Pustaka Solomon, Yogyakarta, 2010;36)
  • Proses pribumisasi pun dilakukan dalam berbahasa seperti kewajiban penggunaan nama-nama China.

Apa yang terjadi di Tiongkok di masa penjajahan Mongol nampak hampir sama dengan apa yang terjadi di Nusantara di masa penjajahan Belanda. Kemenangan Ming adalah merontokkan struktur sosial berdasarkan ras yang dibangun Mongol yaitu menempatkan Bangsa Mongol sebagai bangsa kelas satu, kemudian bangsa asing sebagai bangsa kelas dua sementara mayoritas pribumi (inlander) seperti Bangsa Han sebagai bangsa kelas tiga.

Kita ingat Pemerintah kolonial Belanda pun memberlakukan strata sosial berdasarkan ras atau bangsa-bangsa: warga kelas utama adalah Belanda (Eropa), warga kelas kedua adalah Bangsa-Bangsa Timur seperti Arab, Jepang dan China dan warga kelas tiga adalah yang berjumlah paling banyak yang disebut pribumi, yaitu suku-suku yang telah lama menempati Nusantara. Strata sosial yang diskriminatif dan hanya memperkaya Asing: penjajah kolonial dan antek-anteknya berhasil didobrak dan dihancurkan melalui perjuangan nasional yang menuntut kemerdekaan pada tahun 1945, dan membangunkan Negara baru bernama Republik Indonesia.

Els Bogaerts, dalam esai 'Kemana arah kebudajaan kita?' Menggagas kembali kebudajaan di Indonesia pada masa dekolonisasi, mencatat: "Seperti di sebagian besar negara yang sedang mengalami dekolonisasi, di Indonesia 'negara-bangsa dipandang sebagai pelindung kebudayaan dan pembendung imperialisme budaya' (Betts 2004;46; baca juga Jennifer Lindsay & Maya H.T. Liem (penyunting), Ahli waris Budaya Dunia menjadi Indonesia 1950-1965, Pustaka Larasan, Denpasar, 2011;256). Sayangnya, tugas sejarah untuk  menjadi pelindung kebudayaan dan pembendung imperialisme budaya serta memajukan Kebudayaan tidak ditangani serius yang membuat semakin ke sini, Kebudayaan hanya dipahami sebagai kerja penghiburan, ajang komersialisasi dan alat diplomasi.

Sejak merdeka hingga hari ini, tidak ada Kementerian Kebudayaan agar bisa serius dan fokus  mengawal kerja kebudayaan.  Padahal kebudayaan sangat penting untuk membangun karakter,  mental dan identitas  bangsa agar sebagai bangsa berjiwa patriotis, cinta tanah air dan rakyatnya, tidak mudah disuap yang menyebabkan  bangsa jatuh kembali ke dalam penjajahan asing dalam bentuk yang baru; juga tidak egois yaitu  memperkaya diri dengan korupsi serta tidak bermental cepat kaya bila tanpa kemampuan yang jelas dan terukur sebagaimana budaya yang tampak, yang akhirnya jatuh juga ke dalam godaan  korupsi.

Prabowo Subianto pun,  dalam Debat Capres pamungkas, memandang bahwa  "Budaya adalah sangat penting;  budaya adalah karakter bangsa.  Tanpa kita membanggakan, menghormati, melestarikan budaya kita sendiri, kita  ilang  jati diri kita sebagai  bangsa."  Ia pun setuju dengan Capres Anies Rasyid Baswedan tentang perlunya ". .. dibentuk ... Kementerian Kebudayaan." 

Jadi, Jenderal, jangan lupakan Kementerian Kebudayaan.  Kita memang perlu Kementerian Kebudayaan!  Para prajurit kebudayaan pun sudah siap  berjuang,  sebagaimana para prajurit  Jenderal Tsyu Yuang Tsang membangunkan dan membela (Dinasti) Ming yang artinya bercahaya gemilang, menuju Indonesia Emas 2045.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline