Lihat ke Halaman Asli

AJ Susmana

Penulis

Demokrasi dan Kemakmuran

Diperbarui: 5 Februari 2024   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir-akhir ini banyak disampaikan demokrasi berada dalam bahaya, terancam mati, hilang dan sebagainya. Banyak alasan bisa dideretkan di sini; setidaknya hilangnya demokrasi dan raungan akan kematian demokrasi ini dipicu oleh majunya Calon  Presiden Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, sebagai Calon Wakil Presiden. Keduanya dengan hukuman etik yang mengiringinya dianggap sebagai ancaman demokrasi. Prabowo Subianto terkait kasus peculikan aktivis 1998 dan Gibran Rakabuming Raka, terkait perubahan syarat usia Calon Presiden dan Wakil Presiden yang melibatkan Paman Gibran. Selain itu digambarkan juga bahwa hantu Orde Baru sedang bergentayangan dan Pemilu pun berada dalam bayang-bayang kecurangan dan itu semakin nyata bila Presiden (Jokowi) pun ikut berkampanye dan memihak.

Walau begitu Ahmad Mustofa Bisri, seorang kiai dan penyair, yang akrab dipanggil Gus Mus, melalui opininya di Kompas,  28 Januari 2024, "Jangan Berlebih-lebihan" menulis: "Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sistem demokrasi yang sedang berlaku di negeri ini jelas perlu disyukuri....Dengan segala kekurangannya, jelas pemilu yang kita miliki saat ini jauh lebih baik dari segi kualitasnya dibandingkan dengan pemilu-pemilu lampau di zaman Orde Baru." Pendapat Gus Mus ini jelas obyektif, tidak berlebihan sebagaimana pendapat-pendapat lain yang berlebihan atau lebay seakan-akan demokrasi akan lenyap dengan maju dan kemungkinan menangnya Prabowo-Gibran  di Pilpres 2024 sehingga perlu dihambat dengan narasi-narasi kematian demokrasi.

Penulis pun sepakat dengan apa yang disampaikan Gus Mus di atas. Menurut penulis, situasi sudah jauh berbeda. Juga tidak seperti yang digambarkan Penyair Wiji Thukul dalam puisinya yang  legendaris Peringatan, yang syair penutupnya menjadi seruan perlawanan terhadap  Tirani Jenderal Soeharto: "Hanya ada satu kata: Lawan!"  Saat ini setidaknya ada demokrasi. Partai-Partai bisa didirikan lebih bebas. Lembaga-lembaga penguat demokrasi dan hak-hak rakyat didirikan. Demontrasi bukan kriminal yang bisa dituduh subversib dan komunis tapi sudah menjadi hak dan cara demokratis rakyat dalam mengemukakan pendapat yang dilindungi Undang-Undang.

Soal kecurangan yang membayangi Pemilu 2024, jauh-jauh hari juga pernah disampaikan oleh Menkopolhukam Mahfud MD bahwa Pemilu selalu curang. Problemnya di sini tentu saja hanyalah tinggal mengawasi agar kualitas Pemilu menjadi semakin baik. Setidaknya juga, kita mempunyai pengalaman di masa Orde Baru bagaimana KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) yang didirikan untuk mengawasi pemilu Orde Baru direpresi tapi tetap bangkit dan melawan hingga tergulingnya Orde Baru. Dengan situasi sekarang yang berbeda dengan Orde Baru seharusnya bisa lebih massif mengawasi Pemilu kalau memang kecurangan pemilu dianggap menjadi ancaman nyata.

Menurut penulis, justru yang seharusnya dikeluhkan dan dikritik adalah demokrasi yang berjalan di era reformasi ini yang lebih mengedepankan demokrasi formal prosedural yang hanya menguntungkan kaum elit; yang membuat: yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Itulah yang ditolak Bung Karno dalam konsepsi Socio Demokrasi. Bagi Bung Karno, demokrasi politik harus juga diimbangi demokrasi ekonomi. Sementara itu kita bisa melihat bahwa uanglah yang berkuasa dalam demokrasi kita saat ini dan kondisi ini sudah berjalan selama pemilu-pemilu era reformasi yang selalu diterpa "money politics".

Demokrasi yang bisa membawa kemakmuran seluruh Rakyat Indonesia atau keadilan sosial, itulah yang harus menjadi PR kita.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline