Debat Capres-Cawapres 2024 sudah memasuki Babak akhir yaitu Debat Capres Kelima, Minggu, 4 Februari 2024. Debat diselenggarakan agar publik bisa menilai kualitas Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden secara obyektif. Debat Capres-Cawapres yang berlangsung di era reformasi ini tentu berbeda dengan debat biasa bahkan dengan Debat Ilmiah para akademisi sebab Debat ini berhubungan langsung dengan kekuasaan atau menjadi salah satu cara menuju kekuasaan.
Dalam Debat ketiga, bahkan kelihatan sangat: Anies Baswedan telah menjadikan Etika Kepemimpinan sebagai isu utama menuju RI I atau kekuasaan. Jadi Debat Capres-Cawapres ini penuh retorika dan taktik; tidak melulu mengemukakan kebenaran atau demi kebenaran sebab capaian akhir dari debat bagaimanapun adalah dampak elektoral. Seberapa besar Debat Capres-Cawapres mempengaruhi rakyat dalam memilih tentu perlu riset. Tetapi yang pokok di sini adalah Panggung Debat sebagaimana layaknya sebuah Panggung Teater dapat menimbulkan simpati dan empati terhadap penonton debat yang beragam tingkat epistemologisnya itu. Jadi, penerimaan atau ketertarikan pada Capres dan Cawapres sehingga berdampak elektoral itu tidak melulu berdasarkan kemampuan mengolah atau menerima pengetahuan yang datang dari panggung debat tapi juga sisi emosional atau perasaan yang bisa ditumbuhkan ketika debat berlangsung.
Ilmu Debat dalam panggung debat sebenarnya bukan ilmu baru. Selain kapasitas pengetahuan, empiris atau pengalaman berdebat juga diperlukan. Di samping itu ada satu prinsip yang dianggap kurang baik dalam berdebat yaitu argumentum ad hominem yang lebih mempersoalkan person yang mengemukakan argumen daripada subtansi argumen yang menjadi perdebatan. Perdebatan yang lebih menyerang individu atau orang dari berbagai sisinya daripada gagasan yang dikemukakan tidak akan menimbulkan pencerahan baik bagi para peserta debat maupun penonton debat.
Dari Sejarah Filsafat Yunani, kita bisa melihat bagaimana panggung debat telah berdampak pada sejarah kemanusiaan. Dari sana setidaknya disusun satu teori mengemukakan pendapat yaitu Retorika. Retorika perlu dipelajari karena bisa jadi, kebenaran tidak bisa tersampaikan di panggung debat karena artikulasinya yang buruk sementara ketidakbenaran menang karena pandai beretorika. Begitulah setidaknya Aristoteles, Filsuf Yunani dari abad ke-4 SM, menulis tentang Retorika. Tentu saja yang terbaik adalah yang memahami kebenaran dan bisa juga menyampaikan kebenaran dengan artikulasi yang baik.
Tetapi ternyata itu pun belum cukup sebab masih diperlukan kesesuaian antara kata dan tindakan. Bagaimana kita tahu seseorang itu konsisten antara kata dengan tindakannya? Ini memerlukan juga rekam jejak atau suatu studi sejarah sebab tidak bisa dibuktikan dengan kata-kata atau omon-omon saja. Dari Sejarah Filsafat Yunani, dari panggung debat ini memunculkan juga dua jenis manusia: yang pertama dianggap mewakili kebenaran dan tindakan yaitu Filosof dan satunya lagi yang hanya dianggap: pandai berkata-kata dan beretorika demi mendapatkan keuntungan yaitu kaum sophist.
Bagaimana cara kita berdebat tentunya akan menunjukkan tingkat kebudayaan kita. Perdebatan yang baik bisa menimbulkan pengetahuan baru yang mencerahkan semua sementara perdebatan yang buruk hanya akan menimbulkan kekecewaan.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H