Apakah kekosongan kekuasaan itu begitu menakutkan? Apakah kekosongan kekuasaan itu selalu identik dengan kekacauan? Dan juga bagaimana jalannya atau caranya, tiba-tiba sebuah negara yang selama itu berjalan tertib dan damai, tiba-tiba seakan-akan harus rusuh karena terjadi atau adanya kekosongan kekuasaan? Apakah tidak mungkin justru terjadi musyawarah di antara para pihak yang notabene mempunyai "kekuasaan"?
Tetapi begitulah. Setidaknya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut, akan terjadi kekacauan yang luar biasa jika pelaksanaan Pemilu 2024 ditunda karena penundaan membuat adanya kekosongan kekuasaan atau kekosongan kepemimpinan nasional. Hal itu disampaikan Mahfud ketika merespons putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda tahapan pemilu yang tengah berjalan. (baca juga: https://nasional.kompas.com/read/2023/03/10/10072521/mahfud-penundaan-pemilu-akan-sebabkan-kekacauan-luar-biasa-terjadi)
Pada 1945, yang dianggap dalam kondisi vacum of power, sebenarnya juga tidaklah vacum of power, tetapi lebih pada kekuasaan yang dianggap sudah tidak legitimate untuk mengatur negeri tetapi negara baru yang bakal dilahirkan yaitu Republik Indonesia dengan terpaksa juga merambat tali kekuasaan yang dianggap sudah tidak legitimate itu untuk berdiri. Memang terjadi hiruk pikuk politik dan kerusuhan sosial ketika Jepang mengaku kalah pada Sekutu, tetapi hiruk pikuk politik yang rusuh itu tidak menjadi skala nasional. Dalam skala nasional, kekuasaan yang tertib dan damai itu tetap diupayakan bahkan di bawah perlindungan para pemimpin yang dianggap sebagai boneka kekuasaan atau kolaborator Jepang: Sukarno-Hatta.
Kekosongan Kekuasaan dengan begitu tidaklah selalu identik dengan kekacauan apalagi dengan embel-embel "Luar biasa". Terlebih secara filsafat, manusia hidup dalam pranata sosial yang terorganisasikan. Massa terbesar yang terorganisasikan dengan baik, ketika negara formal tidak berfungsi, semestinya akan segera menggantikan fungsinya. Dengan begitu kekosongan kekuasaan itu sebenarnya hanyalah mitos. Dan seperti biasa, kekosongan, kosong, adalah simbol ketiadaan yang selalu bisa ditafsir sepihak sebagai situasi yang menakutkan dan mengerikan dari mana bisa timbul kejadian yang tak terencanakan. Padahal tidak selalu begitu.
"Tiga tahun lamanya tidak ada raja", begitulah yang disampaikan penulis kronik Pararaton, sebuah kitab yang mengulas jatuh bangun para raja penerus Ken Arok. Ketiadaan penguasa di Majapahit itu, terjadi sekitar tahun 1375 -1378 Saka atau 1453-1456 Masehi. Tak ada berita lainnya yang mengiringi dari berita tentang tiga tahun kekosongan kekuasaan itu, seakan tak ada peristiwa penting yang patut diberitakan. Tak ada berita kekacauan luar biasa; tak ada kerusuhan perebutan kekuasaan. Sunyi. Sepi.
Selama tiga tahun itu, Majapahit seperti autopilot berjalan tanpa nakhoda. Padahal, tiga tahun pada periode itu, terjadi berbagai peristiwa penting di dunia seperti misalnya kejatuhan Konstantinopel pada 1453 yang berarti kemenangan Kekaisaran Ottoman yang mengubah jalannya sejarah. Babak Marco Polo ditutup. Jalur laut ke tanah rempah dimulai.
Entah bagaimana caranya Majapahit mengelola politik tanpa raja selama tiga tahun tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H