Lihat ke Halaman Asli

AJ Susmana

Penulis

Bahkan "Manusia-manusia Kera" Itu Memilih Berkumpul dan Hidup di Lembah Solo

Diperbarui: 28 Februari 2023   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kontroversi keberadaan Piramida di Indonesia, terutama di situs Gunung Padang, Cianjur dan Gunung Sadahurip, Garut, keduanya di Provinsi Jawa Barat, lebih baik dimaknai positif terutama dalam hal usaha penulisan sejarah dari sudut dalam negeri yaitu Nusantara (Indonesia).  

Menguak peradaban purba di Nusantara itu akan dapat memperkuat karakter  bangsa sehingga bermental baja dalam mengarungi jaman yang penuh persaingan di antara bangsa-bangsa. Juga bisa diperspektifkan dalam usaha membangun kerja berkepribadian dalam bidang kebudayaan yang merupakan salah satu sakti dari Tiga Sakti Bung Karno. Dua sakti lainya yaitu berdaulat di bidang politik dan berdikari di bidang ekonomi.

Usaha penemuan atau pembuktian Piramida di Nusantara terutama Gunung Padang, mungkin dianggap sia-sia dan tak  berguna. Namun, menurut saya bukan di situ soalnya. Ada atau tidak ada nantinya, bahkan dalam metode dan proses yang ilmiah dan tidak, tidaklah begitu penting. Yang lebih penting adalah tumbuhnya minat dan usaha menuliskan akar dan sejarah bangsa sendiri dari dalam. 

Selama ini, historiografi bangsa kita justru dari luar yang terkadang masih menyisakan watak kolonialisme. Padahal bila kita mempelajari sejarah, bahkan kolonialisme Barat yang tangguh yang mulai menginjakkan kaki-kakinya di Nusantara tahun 1511 itu, tidak serta merta langsung menaklukkan kita. Pelan-pelan kolonialisme Barat menjadi kuat dan kita menjadi lemah dan tunduk bahkan dalam soal imajinasi dan cita-cita hidup. Perubahan mindset dalam penulisan sejarah dan sastra tentu saja akan dapat menggetarkan jiwa-jiwa yang hendak melanggengkan kolonialisme.

Sebagaimana kita kenali dalam sejarah perjuangan bangsa, kolonialisme begitu lihai untuk memperlemah bangsa-bangsa jajahannya dengan berbagai cara. Cara yang amat manjur dan halus bahkan tak disadari oleh bangsa yang dijajah itu adalah melalui penguasaan kebudayaannya sehingga nilai-nilai budayanya yang dikelola dan ditumbuhkan sebisa mungkin tidak bertentangan dengan kepentingan kolonial. Dalam hal ini, yang termasuk dikuasai dan dikendalikan untuk kepentingan kolonial adalah imajinasi rakyat dan bangsa. 

Karena itu bisa dimengerti bila gagasan cerita dan sastra menjadi penting untuk diperhatikan. Penjajah Belanda sendiri perlu mendirikan satu komisi bacaan untuk mengontrol imajinasi rakyat jajahannya pada tahun 1917 melalui Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian dikenal sebagai Balai Pustaka.

Penguasaan imajinasi adalah salah satu cara yang penting untuk melanggengkan kolonialisme. Karena dengan begitu, rakyat jajahan dijauhkan dari cerita-cerita baik para leluhurnya dan melulu hanya menelan kehebatan dan keunggulan bangsa yang menjajahnya. Bahkan para penjajah berusaha menarasikan kerja penjajahannya dengan cerita-cerita yang dikenal rakyat hingga penjajahannya semakin mendapatkan legitimasi.

Dengan demikian apa yang dikerjakan oleh kaum pergerakan kemerdekaan untuk keluar dari alur pengajaran sejarah kolonial seperti Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya serta Mas Marco atau Semaun dengan karya sastranya yang berbeda dengan kode etik sastra Balai Pustaka adalah juga usaha untuk melawan pelanggengan kolonialisme.

Akibatnya belum menjadi penting apakah bahan ajarnya salah, kurang sopan, kasar atau kurang lengkap karena yang menjadi pokok soal adalah membangun karakter bangsa, dengan memperkenalkan alur sejarah bangsa sendiri yang berbeda dengan alur sejarah yang dikenalkan kolonialisme. Soal salah  dan kurang lengkap, bisa diperbaiki dan dilengkapkan oleh bangsa yang merdeka dan berdaulat karena di negara yang merdeka dan berdaulat terjadi konsentrasi baik tenaga, pikiran dan modal untuk membongkar segala yang masih menjadi misteri demi kemajuan bangsa.

Karena itu sangat mengherankan memang bila kita menengok sejarah populer bangsa kita yang umum dikenal luas oleh rakyat yaitu bahwa Kerajaan Pertama di Nusantara yang menandai era sejarah adalah  Kerajaan Kutai pada abad ke-5 atau pada tahun sekitar 400 M. Apa yang terjadi pada bangsa kita di awal abad pertama tahun masehi tak begitu dikenal rakyat terlebih lagi ribuan tahun sebelum masehi. 

Kenapa kita begitu malas mempelajari sejarah sendiri? Sehingga cukup puas dengan nilai-nilai dan imajinasi yang hadir dan berkuasa di kekinian? Bukankah dengan tak menggali akar kebudayaan bangsa sendiri kita justru larut dalam alur kepentingan kolonialisme yang merugikan kepentingan bangsa sendiri?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline