Lihat ke Halaman Asli

AJ Susmana

Penulis

Tri Sakti sebagai Strategi Membangun Kerukunan Umat Beragama

Diperbarui: 10 Maret 2024   12:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kerukunan umat beragama sebagai dasar membangun Persatuan Nasional  adalah keniscayaan bagi Nusantara yang kini bernama Republik Indonesia bila ingin menjadi bangsa bersatu, berdaulat yang besar, berkeadilan dan berkemakmuran. Setelah "peperangan" yang seakan tanpa akhir hampir 1000 tahun antara Sriwijaya, Sumatra yang mewakili Budhisme dan Jawa yang mewakili Hindhuisme; yang seakan ditandai keberakhirannya dengan peristiwa Pralaya kerajaan Dharmawangsa Teguh akibat serangan Wurawari (agen Sriwijaya), berangsur-angsur di bawah pengaruh Airlangga (menantu Dharmawangsa yang selamat dari Pralaya) kerukunan antar umat beragama dibangun. Di saat Jawa di bawah Airlangga mulai meletakkan dasar-dasar kerukunan umat beragama, di belahan dunia lain justru baru dimulai peperangan yang seakan tiada akhir: atas nama Islam dan Kristen. Kejatuhan Kekaisaran Kristen di Timur yang berakibat ditutupnya Jalur Sutra (jalur Darat) memungkinkan pencarian jalur laut sambil masih meneruskan semangat perang salib hingga menemukan sendiri pusat rempah-rempah di Maluku dan mulai  menjadikan Nusantara sebagai ladang penjajahan dan penghisapan untuk kemakmuran bangsa-bangsa lain.

Pembangunan kerukunan umat beragama dan berkeyakinan di masa Airlangga  ini pun dimungkinkan karena Sriwijaya juga sedang disibukkan menahan serangan-serangan mematikan dari kerajaan Cola. Visi membangun Nusantara tanpa membeda-bedakan keyakinan dan agama ini terus dikembangkan: gelar Kertanegara (Singhasari) sendiri adalah Siwabudha dengan akar tradisi setempat yang semakin kuat karena pasokan rohani dari pusat India sendiri sedang berantakan menghadapi serangan-serangan mematikan Mongol; di bawah bendera Majapahit,  visi kerukunan hidup umat beragama  digambarkan Mpu Tan Tular dalam Kakawin Sutasoma tempat Republik Indonesia yang merdeka dari kolonialisme yang sudah berlangsung tiga abad mengambil semangat Persatuan Nasional dan semboyan kerukunan umat beragama: Bhineka Tunggal Ika. Dengan begitu jelas bahwa persatuan adalah dasar bagi kemajuan bangsa-bangsa di Nusantara, Republik Indonesia kini untuk melawan kehendak buruk dan jahat kolonialisme. Persatuan ini pun semakin menemukan konsep aplikasi yang jelas dan nyata dalam pemikiran Bung Karno yaitu Tri Sakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam lapangan kebudayaan.

Tri Sakti yang masih menjadi buah bibir perpolitikan kita setelah melewati masa pembungkaman Orde Baru adalah buah dari politik yang terbuka. Retorika bisa menjadi permulaan. Sementara itu konsistensi antara kata dan tindakan adalah urusan lain yang mungkin hanya bisa diurus oleh kaum Republiken yang setia yang melihat politik Tri Sakti sebagai satu-satunya jalan dan jembatan rakyat Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur. Untuk itu diperlukan juga di samping kesetiaan, yaitu keuletan dalam hal strategi dan taktik serta kesabaran sebagaimana seorang pemancing ikan ahli yang mengerti kapan menarik pancingnya untuk mendapatkan tujuannya dengan pasti.

Kira-kira 10 tahun sesudah pengganyangan politik berdikari alias Tri Sakti Sukarno dengan  kekerasan dan brutal, bahkan  Soedjatmoko, politisi dan teoritikus yang dikenal berseberangan dengan politik Sukarno masih menggunakan ungkapan "Tri Sakti" dan peranannya bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan-tantangan kehidupan modern. Soedjatmoko, dalam tulisan pengantar untuk  penerbitan buku Strategi Kebudayaan Prof. Dr. C.A.van Peursen menulis: "...Maka segala aspek ini bertemu dalam usaha untuk merumuskan  suatu strategi kebudayaan yang mampu membimbing proses modernisasi dan pembangunan sehingga menjaga dan memperkuat kepribadian nasional, kontinuitas kebudayaan, dan kemampuan kita untuk berdiri di atas kaki sendiri, sekaligus dengan memperkuat kesatuan nasional. Buku ahli filsafat van Peursen yang disajikan ini dapat memperkuat kemampuan kita untuk menyinari permasalahan itu, karena dia mengemukakan suatu kerangka teoritis yang sangat praktis."

Dengan begitu kemunculan kembali retorika Tri Sakti yang terang benderang di panggung politik Republik adalah juga bentuk kemenangan tersendiri. Setelah puluhan tahun berusaha dihilangkan dari kamus politik Republik di masa Orde Baru, Tri Sakti pelan-pelan menjadi  ungkapan solidaritas kemanusiaan yang terus bersemangat pasca penembakan mahasiswa Tri Sakti; yang terus  diikuti dengan terbukanya Kotak Pandora yang selama ini dijaga dengan kekerasan oleh Orde Baru;  hingga kini, Tri Sakti semakin tak sebatas kata-kata tapi menjadi isu politik harapan rakyat Indonesia yang terus mencari kesimpulannya dalam kesesuaian kata dan tindakan.

Capaian sementara dari perjalanan Tri Sakti ini tentu saja menjadi dokumen resmi visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden pemenang  2014 dengan judul: Jalan Perubahan Untuk Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian. Dokumen tersebut bisa diakses oleh seluruh rakyat Indonesia dan dunia. Dari judul ini tersirat kehendak politik sebatas menyiapkan jalan-nya atau landasannya menuju Indonesia ber-Tri Sakti; belum sebagai eksekutor politik Tri Sakti..? sebagaimana ...para pendiri Republik juga menyampaikan: " ...perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."

Dengan begitu jelas juga bahwa Tri Sakti sebelum menjadi konsepsi politik Bung Karno sudah menjadi pemahaman umum perjuangan kemerdekaan Indonesia bila hendak menuju Indonesia Adil dan Makmur. Tri Sakti adalah syarat obyektif menuju Keadilan dan Kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Dengan bercokolnya kolonialisme, tidak mungkin rakyat Indonesia bisa mengembangkan politik yang berdaulat. Justru metode dan cara membangun politik yang kuat dan berdaulat sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam sejarah Nusantara oleh Sriwijaya dan Majapahit sebisa mungkin dihapuskan dari kenangan bersama rakyat nusantara. Kekuatan politik yang tersisa pun terus menerus dihancurkan dengan politik adu domba, pecah belah, divide et impera antar umat beriman, suku, agama, ras dan antar golongan. Filsafat individualisme pun didorong ke muka sebagai bagian penghancuran kekuatan kolektif, gotong royong yang terbukti telah menjadi modal sosial ekonomi yang kuat mengakar di rakyat.  Dengan politik yang berdaulat, terbuka jalan untuk membangun ekonomi nasional yang tangguh dan keluar dari kerangka subordinat dan menjadi sumber penghisapan imperialisme. Keduanya ini, daulat politik dan pembangunan ekonomi yang bermartabat dilandasi oleh pandangan politik bahwa kebudayaan menjadi sumber kekuatan dalam membangun pergerakan yaitu budaya gotong royong yang telah menjadi kepribadian rakyat di nusantara dalam menghadapi kehidupan. Dengan bergotong-royong atau bersatu, kehidupan yang berat menjadi ringan. Bentuk-bentuk persatuan seperti ini masih banyak kita temui dalam berbagai kebutuhan kehidupan rakyat kita. Puncak dari gotong royong ini tentu saja adalah keberhasilan mengusir penjajah. Kehidupan ekonomi yang menjanjikan keberhasilan untuk kesejahteraan rakyat pun dilandasi oleh nilai dan semangat gotong-royong:  "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan."

Pelaksanaan Tri Sakti yang berhasil dengan begitu harus dilandasi nilai dan semangat gotong-royong yang merupakan sakti ketiga. Dengan begitu ditegaskan bahwa kebudayaan sebagai kekuatan adalah kebudayaan rakyat yang tanpa membeda-bedakan keyakinan dan agama  bergotong-royong menyelesaikan berbagai masalah termasuk masalah nasional. Jadi, Tri Sakti adalah conditio sine qua non bila kita ingin terus bergerak maju dan melakukan lompatan ke depan. Tri Sakti adalah program yang harus dimenangkan dan terus diperkuat sekaligus strategi yang harus dijalankan. Bung Karno adalah orang yang yakin terhadap jalannya Tri Sakti dengan semangat gotong royong yang merupakan akar kebudayaan rakyat Indonesia sebagaimana juga dikatakan Bung Karno pada 1 Juni 1945, di depan sidang BPUPKI yang sedang mencari dasar bagi pendirian Negara Republik Indonesia yang kemudian terkenal sebagai pidato hari Lahirnya Pancasila: "...maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen yaitu perkataan "gotong-royong". Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong! Alangkah hebatnya!"

Dalam semangat gotong-royong dan Trisakti inilah, umat beragama menemukan landasan dan alasan strategis untuk membangun kerukunan; juga mencapai tujuan: masyarakat adil dan makmur sebagaimana cita-cita dari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline