Lihat ke Halaman Asli

AJ Susmana

Penulis

Siti

Diperbarui: 24 Januari 2023   20:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sewaktu peristiwa 1965, banyak kawannya dan juga guru sekolahnya dikejar, ditangkap dan ada juga yang diperkosa, disiksa dan dibunuh; sebagian lagi dibuang ke Pulau Nusakambangan atau Pulau Buru atau ke penjara-penjara di Jakarta: Salemba dan Cipinang, juga yang namanya masih asing baginya: Penjara atau Kamp Planthungan.

Umurnya waktu itu 13 tahun. Dia gadis yang cantik dan dikenal periang. Dia  menari dan juga menyanyikan  Internasionale saduran Suwardi Suryaningrat yang kemudian dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara yang mendirikan perguruan Taman Siswa untuk mencetak kader-kader bangsa yang berpendidikan dan berpengetahuan, mencintai negeri dan anti kolonial. Tetapi sesudah 1965 itu,  dia menjadi pendiam.

"Siti, dengar kata Ayahmu ini," dia tidak membantah seperti biasanya dan tidak bertanya-tanya: untuk apa dan mengapa. Hanya diam saja,"untuk sementara waktu, kau jangan keluar rumah. Diam dan tinggal di rumah. Jangan berkumpul dan mencari kawan-kawanmu. Mereka semua itu murid-murid Lekra dan PKI. Kalau ada aparat yang ke rumah, kau jangan usil dan banyak bertanya tentang keadaan hari-hari ini atau kawan-kawanmu yang ditangkap atau hilang. Lebih baik kau diam saja dan tunggu di kamar. Baca novelmu. Mengerti, Siti?"

"Mengerti, Ayah." Siti betul-betul diam saja dan berusaha untuk mengerti dan melaksanakan perintah yaitu diam saja. Tak ada protes atau pertanyaan yang diajukan yang sering membikin bingung Ayah atau Bundanya sebagaimana dahulu dia pernah bertanya sesudah lulus sekolah dasar: mengapa namanya hanya Siti. Siti  saja.  Tidak seperti anak-anak yang lain: Siti Aminah, Siti Rubaidah, Siti Supartiningsih. Karenanya teman-temannya sering menambahkan sendiri: Siti Situn atau Siti Hinggil.  Kebetulan dia memang berbadan tinggi tapi dia tak  suka kalau dipanggil Situn. Kedengaran baginya seperti ejekan. Ayah dan Bundanya tidak bisa menjelaskan kecuali bahwa nama itu pemberian Nenek. Ayahnya sedang bertugas jauh dari rumah dan Bundanya meminta pada nenek untuk menamainya. Nenek ketika ditanya juga tidak bisa menjelaskan kecuali bahwa nama itu berarti tanah atau bumi dan setiap orang yang lahir perempuan waktu itu banyak dikasih nama Siti.

Ayahnya kemudian barangkali untuk menenangkan hatinya yang resah  menambahkan, "Satu kata bagus kok.  Banyak nabi namanya juga  satu kata saja: Adam, Hawa, Nuh,  Musa, Harun, Isa,  Maria,.....".  Tapi dia tetap tidak puas dan tidak bisa tenang. Pastilah benar, kata orang-orang bahwa satu kata untuk sebuah nama itu hanyalah orang-orang desa.

Ayahnya, seorang perwira tentara walau bukan perwira tinggi. Tentu tahu apa yang terjadi  di luar sana. Sewaktu peristiwa itu terjadi, ayahnya bertugas jauh dari keluarga. Tanpa berkabar sebelumnya, juga tanpa oleh-oleh buah tangan, tiba-tiba nongol di rumah; memerintahkan ini dan itu kepada, Nenek, Ibu dan juga Siti. Rumah menjadi sunyi. Tak ada lagu-lagu, petikan gitar atau riuh rendah suara-suara  tetangga yang berkunjung dan bermain.

Peristiwa 1965 lewat. Keluarga Siti aman. Tetapi kemudian pindah ke kota yang tak jauh dari Ibu Kota. Walau tidak terlibat G 30 S/PKI dan tidak pernah dipenjara karenanya, Siti merasakan bahwa karir Ayahnya tersendat dan pensiun lebih cepat. Untuk itu dia juga tidak pernah bertanya. Siti diam saja; melanjutkan sekolah dengan baik dan betul; belajar giat mengejar nilai hingga lulus; terus lanjut ke salah satu perguruan tinggi ternama di Ibu Kota. 

"Pasar Senin dibakar, Siti. Ayo kita lihat?!" Siti tak bergerak dan juga tidak menyahut.

"Banyak yang ditangkap, Siti. Ada Hariman Siregar dari UI. Kau kenal kan?"

"Duh," sahutnya, "aku di perpus saja. Belum selesai."

Pasar Senin yang terbakar  itu disebut Peristiwa Malari beberapa hari kemudian Siti baru tahu. Tapi ya hanya sebatas itu. Siti tidak tahu detailnya. Apa yang dituntut mahasiswa. Setiap kali teman atau orang mengajak diskusi tentang gerakan mahasiswa, Siti tidak peduli. Pun hanya diam saja walau orang berteriak marah di depannya bahwa Jepang telah menjajah lagi negeri kita dengan jebakan utang luar negeri dan membanjiri jalan-jalan dengan mobil-mobil produksinya. Perpustakaan menjadi tempat sembunyinya yang paling nyaman. Siti semakin banyak baca buku. Pun tak tergerak ketika seorang penyair  berseru bertanya di kemah mahasiswa:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline