Lihat ke Halaman Asli

Ajril Syafikul

Mahasiswa Pendidikan Sejarah

Sejarah dan Keunikan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta

Diperbarui: 1 Desember 2022   20:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Editor: Ajril Syafikul Hakim

Masjid Gedhe Kauman atau yang lebih dikenal sebagai Kagungan Dalem Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, dimana keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari Kesultanan Yogyakarta. Keberadaan Masjid Gedhe Kauman ini mepertegas bahwasanya Yogyakarta merupakan Kerajaan Islam, disamping itu Masjid Gedhe Kauman merupakan simbol harmonisasi sisi kebudayaan khas Kerajaan Yogyakarta yang sarat perjalanan sejarah dengan religiusitas masyarakatnya. Masjid Gedhe dibangun di dekat bangunan keraton, di sisi barat Alun-Alun Utara dan barat daya Pasar Beringharjo. Sejak zaman Majapahit, kerajaan-kerajaan Jawa telah menata ibu kota kerajaan dengan menempatkan keraton sebagai pusat pemerintahan, pasar sebagai pusat perekonomian, dan tempat ibadah sebagai pusat agama.

Masjid Gedhe didirikan pada hari Ahad Wage 29 Mei 1773 Masehi, atau 6 Rabi'ul Akhir 1187 Hijriah/Alip 1699 Jawa. Pendirian tersebut ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi Gapura Trus Winayang Jalma, sengkalan tersebut dituangkan pada prasasti di serambi masjid. Masjid Gedhe didirikan atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Kiai Fakih Ibrahim Diponingrat selaku penghulu keratin. Adapun rancang bangunnya dikerjakan oleh Kiai Wiryokusumo.

Dua tahun setelah berdirinya, struktur Masjid Gedhe diperluas untuk menampung jamaah yang terus bertambah. Serambi dua tingkat berbentuk piramida dengan tulisan "Tunggal Windu Pandhita Ratu" (1701 J) dibangun sebagai bagian dari perluasan ini. Serambi dibangun bersamaan dengan dibangunnya dua bangunan lain yang disebut pagongan. Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga, dua set gamelan pusaka, dipentaskan di dua bangunan tersebut. Upacara Sekaten meliputi permainan kedua gamelan tersebut.

Masjid ini juga pernah digunakan untuk menyelesaikan persoalan hukum Islam, khususnya perdata, pada tahun-tahun awal Kesultanan Yogyakarta. Kepala keraton dalam struktur Abdi Dalem Pamethakan bertanggung jawab atas pengelolaan masjid. Raden Ngabei Ngabdul Darwis, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, adalah salah satu abdi dalem masjid. Ia memiliki tiga tanggung jawab utama sebagai Khatib Amin. Ikut Raad Ulama dan Hukum Keraton, penjemputan di serambi masjid, dan khutbah Jum'at bergantian bersama delapan khatib lainnya.

Masjid Gedhe mengalami setidaknya dua kali renovasi setelah kejadian itu. Di kanan dan kiri regol, pada tahun 1917 dibangun sebuah Pajagan atau pos jaga. Atap masjid kemudian direnovasi pada tahun 1933 atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Seng wiron, juga dikenal sebagai seng bergelombang, digunakan untuk menggantikan sirap yang lapuk di masjid, dan ubin bunga digunakan untuk menggantikan lantai batu sungai di teras. Lantai batu musala utama diganti dengan marmer Italia pada tahun 1936.

Masjid Gedhe juga berperan dalam cara kerja Indonesia karena merupakan bagian dari Keraton Yogyakarta. Gedung Pajagan berfungsi sebagai markas Perang Asykar Sabil, yang membantu Tentara Nasional Indonesia dalam perjuangannya melawan agresi militer Belanda. Para pahlawan yang gugur kemudian disemayamkan di sisi barat masjid. Selain itu, Masjid Gedhe terus menjadi senjata medan perang. baik bagi para reformis dalam menumbangkan Orde Baru maupun Komponen Kekuatan '66 dalam menumbangkan Orde Lama.

Sementara itu, Struktur masjid ini memiliki 48 tiang penyangga, dan atapnya memiliki 16 (16) sisi dan tiga tingkat. Mi'rab atau tempat imamat, liwan, ruangan besar untuk jamaah, serambi yang merupakan bagian luar bangunan, dan tempat wudhu adalah bagian-bagian dari masjid. Saat raja hadir di Masjid Gedhe, dia memiliki akses ke ruangan khusus yang disebut maksura di barisan depan (shaf).

Sebuah mahkota berbentuk bunga dipasang di atap masjid ini sebagai pengingat bahwa itu milik Sultan. Mustaka adalah nama yang diberikan untuk jenis hiasan atap ini. Mustaka Masjid Kesultanan merupakan representasi gaya bunga pala, daun kluwih, dan bunga gambir. Gada melengkapi keesaan Allah. Kata "linuwih" dapat diturunkan dari daun Kluwih, yang mengandung arti bahwa manusia akan memperoleh manfaat dengan melengkapi ketiga tahapan tasawuf yang diantaranya Iman, Islam dan Ihsan. Sedang bunga gambir melambangkan arum angambar atau keharuman yang menebar.

Berdirinya Masjid Gedhe Kauman disertai pembentukan masyarakat santri disekitar masjid yang kemudian lebih dikaenal dnegan nama kampung Kauman. Para abdi dalem menjadi masyarakat santri yang ddiberikan tugas untuk memakmuurkan medjid. Mereka adalah berjamaaah, ketib, marbot, dan modin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline