Lihat ke Halaman Asli

Cerdas Bermedia

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Citra media pada masa kini sepertinya masih jauh dari harapan kita semua. Koran, televisi, internet, dan yang lainnya telah disalahgunakan oleh beberapa pihak untuk mengejar ambisi mereka. Kalaupun media itu netral kadang – kadang tidak menggunakan kaidah – kaidah yang baik dan benar, kita bisa contoh seperti (maaf menyebut merk tertentu) koran Lampu Hijau yang seenaknya saja dalam menuliskan judul – judul berita. Dan yang paling baru adalah perang antara dua kubu media dari Koalisi Merah Putih dengan Koalisi Indonesia Hebat. Media seharusnya menampilkan berita – berita yang netral dan apa adanya (objektif) sesuai fakta, media juga seharusnya menjadi sarana edukasi bagi yang melihatnya, selain itu media juga berfungsi untuk menghibur.

Mari kita kaitkan perilaku media dengan peristiwa yang masih hangat akhir – akhir ini. Dimulai dari masa – masa kampanye pilpres. Kita harus bangga bahwa pemilu kali ini berjalan dengan lebih baik dari pemilu – pemilu sebelumnya. Masyarakat Indonesia sudah mulai sadar betul akan perlunya perubahan di kancah pemerintahan Indonesia, terlihat dari antusiasme masyarakat yang sangat tinggi dari saat sebelum pemilu dan sesudahnya. Namun antusiasme masyarakat tersebut diganggu oleh kepentingan – kepentingan pihak tertentu dengan memanfaatkan media massa. Saling serang antar kedua kubu mulai tidak sehat, dan ditandai dengan adanya fitnah dan juga ejekan – ejekan. Dan tentunya melihat televisi pada saat itu bisa membuat kita tertawa. Berbagai cara dilakukan kedua kubu media agar mempengaruhi masyarakat, yang paling nyata adalah pada saat penghitungan quick qount di mana salah satu media televisi, tidak hanya satu melainkan beberapa media televisi yang pro Koalisi Merah Putih melakukan manipulasi penghitungan hasil quick qount dengan menggunakan lembaga survey yang tidak kredibel.

Ada anggapan bahwa pemilu kali ini memecah belah Masyarakat Indonesia menjadi dua kelompok. Mungkinkah media sebagai salah satu penyebabnya? Bisa dikatakan ya, karena masyarakat dari golongan manapun pasti suka menonton televisi. Ketika mereka sudah menetapkan hati untuk memilih salah satu pasangan, maka ditambah dengan pemberitaan – pemberitaan yang tidak berimbang di televisi dapat semakin memperburuk keadaan di tengah kehidupan Masyarakat Indonesia.

Masih segar juga dalam ingatan kita pada saat masa – masa sebelum pilpres, di mana surat kabar Obor Rakyat muncul dan menjadi polemik di tengah – tengah masyarakat. Surat kabar tersebut berisi pemberitaan – pemberitaan yang negatif dan tidak sesuai faktanya untuk menyudutkan salah satu pihak. Media seperti inilah yang dapat menimbulkan sifat fanatik dalam diri seseorang atau kelompok, dan dapat mengakibatkan kerusakan mental pada masyarakat. Dalam hal ini, tentunya kita harus dapat berpikir secara objektif, walaupun dalam suasana persaingan tapi kita harus tetap bisa bersikap sportif terhadap satu sama lainnya.

Isu yang paling menghangat akhir – akhir ini tentunya soal pengesahan RUU Pilkada, di mana hasilnya pilkada dipilih oleh DPRD. Ada yang pro dan kontra terhadap pengesahan RUU ini, namun sebagian besar masyarakat tidak setuju jika Pilkada dipilih oleh DPRD. Menanggapi hal ini media – media pun berlomba untuk menyajikan berita mengenai RUU ini. Namun, yang terjadi tetaplah sama seperti saat – saat sebelum pilpres, walaupun dengan intensitas yang berkurang. Seperti pengamatan yang saya lakukan terhadap 2 media televisi yaitu RCTI dengan Metro TV. Kedua media tersebut bisa dibilang berseberangan dalam menyajikan berita, RCTI yang notabene merupakan media yang lebih pro kepada Koalisi Merah Putih pernah menampilkan berita yang berisikan manfaat – manfaat pilkada oleh DPRD, di lain pihak, Metro TV pun menyajikan berita yang menyatakan bahwa demokrasi seperti telah mati ketika pilkada dilakukan oleh DPRD. Kedua media itu seolah – olah sedang mempersuasi masyarakat untuk membenarkan berita mereka. Padahal seharusnya media bersifat netral dan hanya bersifat untuk menginformasikan, bukan untuk mempersuasi. Mengenai penilaian itu sendiri seharusnya diserahkan kepada masyarakat, karena menurut saya Masyarakat Indonesia saat ini sudah tahu mana yang baik dan yang buruk.

Kepemilikan media menjadi salah satu sumber masalah mengenai kenetralan media saat ini. Pada awalnya mungkin para pemilik media ini mempunyai ideologi, visi, dan misi yang baik untuk mengedukasi, menginformasi, dan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Namun ketika pengaruh – pengaruh politik masuk dalam jajaran pemilik media ini, ideologi mereka dapat berubah. Politik membutuhkan sarana yang ampuh untuk mempersuasi masyarakat, dan hal itu dapat dicapai melalui pers yang dikenal sebagai kekuatan ke empat dalam suatu pemerintahan selain dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Lantas, apakah para pemilik media seharusnya tidak berkarier di dunia politik? Tidak ada Undang – Undang yang melarang hal tersebut, dan menurut saya, hal ini akan tetap berlangsung karena tidak bisa dipungkiri, keinginan untuk duduk di kursi pemerintahan pasti dapat mengubah pemikiran idealis orang banyak. Jika kita berada di pihak para pemilik media itu sendiripun mungkin kita bisa tidak tahan terhadap godaan tersebut.

Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan? Perbaikan dan cerdas bermedia. Perbaikan dari dalam media perlu dilakukan. Terdapat perbedaan antara media di Indonesia dengan media di luar negeri. Kita ambil contoh, Amerika. Hal yang membedakan bisa sangat sederhana namun dampaknya bisa memengaruhi psikologis seseorang. Di Amerika, pada saat pemberitaan tsunami Jepang, gambar yang ditampilkan adalah bencana tsunami – nya. Kebalikan dengan media Indonesia yang lebih banyak mengekploitasi gambar – gambar para korban bencana. Selain itu media Indonesia cenderung terpengaruh dengan budaya no pic = hoax. Ketika pemberitaan – pemberitaan di media baik itu surat kabar maupun televisi banyak menampilkan adegan kekerasan, yang mana pemberitaan seperti itu dapat memengaruhi psikologis seseorang. Karena seringnya pemeberitaan soal kekerasan, lama – kelamaan kekerasa hanya dianggap sebagai hal yang biasa. Ada pula jurnalis yang hunting berita hanya untuk memenuhi isi kolom di surat kabar tempatnya bekerja.

Sedikit intermezzo, beberapa hari yang lalu saya sedang online media sosial twitter. Ketika sedang melihat – lihat timeline, ada hal yang menarik perhatian saya, di mana akun @sudjiwotedjo men – retweet akun portal berita @Metro_TV disertai dengan komentarnya. Berikut isi tweet tersebut: “@sudjiwotedjo: Ini nilai beritanya dimana Cuk? Yuni Shara kan emang penyanyi? @Metro_TV: Yuni Shara akan Menyanyi di Pernikahan Raffi Ahmad.” Mengapa saya tertarik akan tweet tersebut? Rupanya Mbah Jiwo, sapaan akrab dari Sudjiwo Tedjo tidak hanya sekedar ngeguyon, melainkan dia mengkritisi judul berita tersebut. Menurutnya berita tersebut mencerminkan Masyarakat Indonesia yang menyimpan rasa dendam. Lalu beliau menjelaskan argumennya melalui tweet berikutnya seperti ini: “@sudjiwotedjo Bagi masyarakat non-dendaman, berita itu gini: "Menikah, Si A ogah mengundang Mantan" .. Masyarakat penasaran ingin baca, "Knp sih?" dari kedua tweet tersebut tentunya terasa sekali perbedaan yang mencolok mengenai kedua contoh judul berita tersebut.

Kita hendaknya dituntut untuk cerdas bermedia. Menilai sebuah berita dengan kepala yang dingin dan objektif. Tidak menelan bulat – bulat setiap informasi yang kita terima. Selain itu hendaknya media juga dapat memperbaiki kredibilitas para jurnalis dan gate keeper – nya, sehingga dapat menyajikan berita yang objektif dan sesuai dengan faktanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline