Lihat ke Halaman Asli

Dana Simpan Pinjam Eks PNPM Milik Siapa?

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

google.com | Marwan Jafar

[caption id="" align="alignleft" width="301" caption="Marwan Jafar | google.com"][/caption]Pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,  Marwan Jafar, saat kunjungan kerja di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (5/3/2015), perihal Dana Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) eks Program PNPM-MPd yang akan diambil alih oleh negara, sebagaimana dilangsir oleh beberapa surat kabar nasional sungguh sangat tendensius dan tidak berdasar.

Bila merujuk pada ucapan sang menteri tersebut seolah-olah Dana SPP itu selama ini telah berada di tangan para Perampok dan dikelola secara ilegal, padahal dana hibah tersebut selama ini dikelola berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas oleh Lembaga bentukan Pemerintah sesuai Petunjuk Teknis Operasional (PTO) Program PNPM-MPd sebagai payung hukum yang lahir secara sah dari rahim Penerintah juga.

Statemen berikutnya dari sang Menteri yang merupakan kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu juga semakin menegaskan kepada publik bahwa dirinya sama sekali tidak paham tentang apa yang sedang dia ucapkan, dengan mengatakan Dana SPP yang berjumlah ± Rp. 11 Trilyun tersebut tidak boleh dikuasai oleh individu-individu atau kelompok dan akan diambil alih oleh negara untuk kemudian dijadikan modal BUMDes yang akan dibentuk di masing-masing desa. Pertanyaannya adalah, individu atau kelompok yang mana yang dia maksud?

Jika yang dimaksud Marwan sebagai individu atau kelompok itu adalah Kelembagaan BKAD (Badan Kerjasama Antar Desa) beserta seluruh perangkat pendukungnya yang berada di tiap-tiap kecamatan, lalu BUMDes itu disebut apa Pak Menteri?

Keberhasilan Program Pemberdayaan di Indonesia

Bila begitu cara pemerintah bersikap, yaitu bila sebuah rezim pemerintahan berakhir, lalu kemudian semua program pemerintah sebelumnya juga harus dimusnahkan tanpa jejak, maka tunggu saja kehancuran negeri ini.

Seharusnya pemerintah saat ini bisa mengesampingkan gengsi dan lebih “gentle” dalam bersikap. Apa salahnya mengapresiasi keberhasilan dari pendahulunya jika memang itu sebuah realita, toh pemerintah saat ini tidak akan kehilangan muka dengannya. Masih banyak program-program lain yang bisa diciptakan tanpa harus melakukan pembunuhan karakter terhadap lawan politik seperti itu, dan seharusnya pemerintah saat ini bisa lebih kreatif dalam menelurkan kebijakan-kebijakan lain yang juga pro-rakyat untuk meraih simpati publik.

Sekarang silahkan berhitung berapa banyak sudah program serupa SPP PNPM yang pernah diterapkan di indonesia ini, lalu berapa banyak yang berhasil dan bertahan hingga saat ini? Trilyunan kredit dengan bunga kecil atau non-bunga dikucurkan, dan tidak sedikit pula Dana Hibah untuk memodali golongan ekonomi lemah yang telah disalurkan Pemerintah, lalu dimana sisanya?

Secara Nasional pernah diluncurkan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT),  salah satu program pemerintah yang diluncurkan pada tahun 1993 semasa Presiden Soeharto,  yaitu menghibahkan dana pemerintah kepada kelompok masyarakat miskin untuk dikelola langsung oleh masyarakat secara musyawarah dengan menggunakan konsep dana bergulir, namun tidak bertahan lama dan dananya raib entah kemana.

Khusus di Aceh sendiri, pada masa Irwandi Yusuf sebagai Gubernur pernah pula diluncurkan Kredit Peumakmu Nanggroe (kredit tanpa bunga) untuk memodali Usaha Mikro masyarakat dan disini pun nasibnya tidak jauh berbeda dengan Program IDT, sehingga kemudian Irwandi merubahnya menjadi Program Bantuan Keuangan Peumakmu Gampong (BKPG) yang menganut pola PNPM dan kali ini lumayan berhasil.

Walau tidak seberhasil program induknya (SPP PNPM) namun SPP BKPG masih eksis sampai sekarang. Kendala yang dihadapi dalam mengembangkan Program SPP BKPG umumnya karena keterbatasan SDM di tiap-tiap desa di Aceh yang pada umumnya kualitasnya masih sangat rendah, sehingga manajemen pengelolaan dana tersebut rentan terjadi penyimpangan akibat lemahnya pengawasan, karena dikelola di tingkat desa yang tingkat kemajuannya tidak sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline